Chapter 2 of Secret Thought! Enjoy~
la confession de l'amour...
Remillia berjalan melewati gerombolan penggosip tadi. Tangannya kanannya menggenggam cutter yang disembunyikan dalam kantongnya.
"De Javu" bisiknya.
***
"ugh..." Remillia mati-matian berusaha meraih buku yang ada di
bagian paling atas rak. Kemudian sebuah tangan muncul meraih buku itu.
Luke Sieghart.
"yang ini?" tanyanya.
Remillia menatap buku itu cukup lama, kemudian menerimanya dengan tangan kanan.
"sebenarnya bukan yang ini."
"Nah lho?! Salah tapi kok diterima? Hahaha. Berarti yang ini ya?" Luke meraih buku satunya yang cukup tebal.
"kamu tak perlu repot mengurusiku. Aku bisa sendiri." tutur Remillia yang mendekap buku tadi dengan tangan kanannya.
"kan kemarin aku sudah bilang kamu nggak perlu menanggung semuanya sendiri." Luke tersenyum.
Ah, lagi-lagi tatapan itu. Tatapan Remillia yang datar, namun sangat emosional. Lagi-lagi Luke terbawa ombak biru kehitaman itu.
"ehm. Pasti yang ini kan?" Luke akhirnya menyerahkan buku itu.
Remillia mengangguk, kemudian mengulurkan tangan kirinya untuk menerima
buku itu. Namun belum berapa detik ia menggenggam buku itu, ia
menjatuhkan buku itu.
"Remillia!"
Gadis itu jatuh terduduk diatas lantai dengan tangan kanan memegangi lengan kiri bawahnya.
"kenapa? Ada yang luka?" Luke duduk menjongkok dan meraih tangan kiri gadis itu.
"lepas!!" Remillia tiba-tiba menjerit dan menarik tangannya.
"aku hanya berusaha membantu! Aku ini anak PMR, perlihatkan lukanya percaya saja padaku." ucap Luke.
"tidak!! Aku tidak butuh! Cepat pergi, atau aku akan..."
"Akan apa?! Membunuhku dengan cutter itu?!" Remillia tersentak mendengar ucapan Luke. Luke pun refleks menutup mulutnya.
"maaf... Aku kelepasan..."
"ukh... teganya kau... Aku tidak menggunakannya untuk hal seperti itu..." mata Remillia berkaca-kaca.
"maaf... Hanya saja, hampir semua orang membicarakannya. Aku hanya..."
"seharusnya... Aku sudah berhenti melakukannya. Seharusnya... Tapi,
kemarin... Ukh... Ungg..." air mata gadis itu pun tumpah juga. Jantung
Luke seperti tersayat melihatnya.
"Remillia..." desah Luke.
"uh... baiklah... Aku percaya padamu Luke..." Remillia perlahan menggulung lengan baju kirinya.
Mata Luke terbelalak melihatnya. Terlalu banyak... Luka bekas
sayatan. Kemudian luke membuka perban yang sudah bebercak darah. Ia
melihat beberapa sayatan kecil yang masih terbuka dan sebuah sayatan
besar menganga.
"Remillia... Ini..."
"seharusnya aku sudah berhenti melakukan ini... Tapi air mata saja
tak cukup untuk semua kekesalan ini. Terhadap dunia, terhadap diriku
yang lemah ini. Aku selalu puas meliat cairan merah itu mengalir, seakan
kebencianku merambat keluar dari diriku. Sakit, tapi menyenangkan."
Remillia tersenyum. Senyum paling menyeramkan yang pernah Luke lihat.
"ahaha, tapi sepertinya semalam aku terlalu bersemangat. Hingga
lukanya jadi sedalam ini, ugh... Mungkin, kalau sedikit dalam lagi,
nadiku akan terpo-"
"jangan melakukan hal bodoh!!" Luke meraih tangan kiri Remillia. Pandangan mereka bertubrukan.
Sunyi. Bahkan air mata Remillia berhenti mengalir. Hanya waktu yang terus berlalu.
TING TONG!
"bel masuk... Ayo kita ke UKS dulu." Luke berdiri, masih menggenggam
tangan Remillia. Gadis itu juga berdiri lalu menurunkan gulungan
lengannya.
Sambil berjalan ke UKS, Luke teringat sebuah novel yang pernah ia baca.
Cutter... 'cutter'... Dua kata yang homograf dan homofon, beda arti
namun saling berkaitan... 'cutter', orang yang senang menyayat dirinya
sendiri. Masochist. Dan Remillia adalah 'cutter' yang menggunakan cutter
sebagai alatnya...
Angin tak berhembus, namun Luke merasakan hembusan sendu yang menerbangkan jiwanya, jauh dari tubuhnya...
***
"Remillia membawa cutter untuk melukai dirinya sendiri?" Bu Anne memastikan apa yang barusan ia dengar. Luke mengangguk.
"sepertinya ibu memang harus menemui orangtuanya."
"tapi ibu tahu kan, Remillia-"
"ya, ibu tahu kalau ia tidak mau ibu pergi. Tapi kalau masalahnya
sudah sampai ke tingkat ini, orangtuanya harus tahu." Ibu Anne
memperkuat argumennya.
"ibu memang benar, hanya saja aku..."
"Luke, seberapa jauh kau mengenal Remillia?" tanya bu Anne.
"hah? Uuh... Cukup jauh... Karena dia memberitahukan tentang luka itu padaku."
"hmm... Apa kau diberitahu bahwa ibunya meninggal 2 bulan lalu?"
Luke tersentak.
"apa kau diberitahu kalau di sekolah sebelumnya ia di-bully?"
"eh..."
"teman-temannya melukainya jasmani dan rohani. Menusuk lengannya
dengan pensil, memukulnya dengan papan hingga tulang rusuknya retak. Kau
tahu?"
Luke terdiam.
"Remillia layaknya gunung api di tengah lautan. Yang terlihat hanya
puncaknya, namun jika kita menyelam, barulah terlihat kalau gunung itu
sangatlah besar. Bagaimana kalau gunung itu meledak? Remillia butuh
perlakuan khusus, jiwanya terguncang. Terapi, konsultasi psikologi.
Karena itu orangtuanya harus tahu."
***
Luke merasa seperti tersambar petir. Berjalan keluar ruangan Bu Anne
dengan lemas. Pikirannya mengantarkan langkahnya menemui Remillia di
gerbang sekolah.
"Luke..."
Luke menoleh, dan tersenyum ke arah gadis di hadapannya.
"Claire."
"namaku Clarissa... Luke, kau menunggui gadis itu?" Luke tidak menjawab, "sadarlah Luke, dia itu psycho!"
"ssst." Luke menempelkan jari telunjuknya pada bibirnya, kemudian
menunjuk ke belakang Clarissa. Clarissa menoleh dan terkejut saat
melihat sosok Remillia ada di hadapannya. Remillia hanya diam menatap
Clarissa. Tatapan yang kosong, tanpa emosi, namun tersirat aura dendam
di dalamnya. Bibir Clarissa bergetar dan keningnya berkerut.
"Remillia, kau mau pulang?" tanya Luke. Remillia tidak mengacuhkan
dua orang itu dan tetap berjalan melewati mereka. Luke juga tanpa bicara
membuntuti Remillia.Mereka berjalan cukup jauh tanpa kata-kata. Dan
akhirnya Remillia berhenti lalu bertanya, "sampai kapan kau akan
mengikutiku?"
"sampai kau mau mendengarkanku." jawab Luke tegas.
Remillia menghela napas dalam lalu berbalik ke arah Luke dan
menunjukkan ekspresi yang seolah berkata, 'baiklah, aku mendengarkan.'
"kamu tahu? Aku masih menginginkannya. Kamu dan aku, rendezvous."
"kamu masih bersikeras? Padahal sudah kukatakan aku sibuk."
"ya. meskipun begitu, Nous allons à la bibliothèque." Luke tersenyum
hangat saat mengatakannya. Remillia yang mendengarnya terdiam.
"bukankah kau bilang, kau hanya tahu kata 'rendezvous'?" Remillia terheran-heran.
"yah... Tapi aku berusaha belajar. Buat kamu." Luke menggaruk kepalanya.
"hah? Apa maksudnya untukku?" Remillia benar-benar kehilangan aura misteriusnya hari ini.
"supaya aku bisa bicara denganmu tanpa bingung." Luke berjalan
mendekat kepada Remillia yang sedang terbengong-bengong. Semilir angin
menjatuhkan dedaunan kering dari pepohonan di sekitar mereka. Kesunyian
yang menyegarkan, menerbangkan perasaan Luke, jauh dari tubuhnya saat
ini.
"kamu mau tahu kata lain yang sudah aku pelajari?" tanya Luke memecah kesunyian.
"... Je t'aime."
...
Terlantun dengan sangat jelas. Ungkapan cinta dalam bahasa Prancis
itu bergema dalam gendang telinga mereka berdua. Diiringi dengan bisikan
angin dan degupan jantung mereka, menciptakan melodi yang sulit
dilupakan...
_bersambung-->ch.3_
Jumat, 09 November 2012
Memoria ~ Melodi yang tak Terlupakan ~
Halooo~ Ini cerita yang (rencananya) mau kukirim buat lomba nulis cerpen! Enjoy~
“Memoria”
~ Melodi yang
Tak Terlupakan ~
“Rasanya seperti melangkah di atas pasir di pinggir pantai. Jejakmu
akan terhapus begitu ombak datang menerjang…”
* * *
“Selamat
pagi”
Bisikan
lembut yang asing merambat di telinganya, seiring dengan semilir angin yang
membelai pipinya. Wangi teh melati pun samar-samar tercium. Wanita itu membuka
matanya, dan ia melihat jendela yang telah terbuka dengan korden putih berdansa
bersama hembusan angin. Matanya menyapu seluruh ruangan. Dan yang ia lihat
sebuah ruangan serba putih yang asing. Tidak begitu sempit dan tidak begitu
luas, besarnya jendela membuat sinar mentari mampu menerangi seluruh ruangan.
Yang ada di ruangan itu hanyalah sebuah ranjang yang sedang ia tiduri, sebuah
meja dengan vas bunga dan teko teh di atasnya, dan sebuah sofa yang dihiasi
bantal berwarna hijau, kontras dengan warna putih yang menyelimuti sekitar.
Begitu ia beranjak dari tempat tidurnya, seorang gadis berseragam SMA berjalan
masuk membawa nampan penuh makanan.
“Ibu sudah
bangun?”, Tanya gadis itu dengan seyuman lembut mengembang di bibirnya.
Wanita tua
itu hanya terdiam mendengar pertanyaan itu. Ia menatap gadis itu lekat-lekat
dari ujung kepala hingga ujung kaki.
‘Siapa…
Gadis itu?’ Batinnya.
Gadis itu
berjalan mendekati meja kecil di sisi tempat tidur dan meletakkan nampan yang
tadi di atasnya. Wanita tua itu memperhatikan setiap gerak-geriknya dengan
seksama. Begitu banyak tanya yang berkelebat dalam hatinya, namun entah kenapa
bibirnya terkunci rapat, tak mengeluarkan sepatah kata pun.
“Ini
sarapan ibu. Ayo dimakan sekarang, nanti keburu dingin.” Tutur gadis itu
lembut.
Wanita tua
tadi masih menatapnya dengan bingung. Meskipun begitu, sang gadis tetap
tersenyum lembut seakan tak menyadari tatapan wanita itu. Gadis itu memberi isyarat
pada wanita tua itu untuk duduk di tempat tidur, kemudian ia sendiri mengambil
kursi tak jauh dari tempat itu lalu mendudukinya. Melihat si wanita tua tidak
melakukan apa-apa, ia kembali bertanya,
“Ibu ingin
makan sendiri? Apa perlu saya suapi?” Tanya gadis itu disertai tawa lirih.
Wanita itu
masih tetap terdiam, namun akhirnya ia memutuskan untuk duduk dan meraih sendok
di atas nampan tadi. Perlahan-lahan wanita itu mengunyah makanan yang ada di
mulutnya. Sesekali ia melirik kearah gadis tadi, dan ia menyadari senyum
lembutnya sudah tak lagi berkembang. Gadis itu menatap kosong kearah secangkir
teh di sebelah nampan. Wanita tua itu pun ikut menatap cangkir teh itu. Wangi
melatinya seakan mengingatkannya akan sesuatu, namun ia tidak tahu apa.
Wanginya terasa begitu… ‘Dekat’…
“Oh,
astaga! Maaf Bu, saya harus pergi!” Kata gadis itu sambil beranjak dari
kursinya begitu melihat kearah jam. Gadis itu berlari ke pintu, namun ia
berhenti sebentar lalu menengok kebelakang.
“Assalamu’alaikum…”
Ucapnya, kemudian melanjutkan larinya keluar.
“…
Waalaikum salam…” Jawab wanita tua itu akhirnya. Ia berhenti mengunyah
makanannya, menatap ke arah pintu yang setengah tertutup.
‘Siapa
gadis tadi? … Dan dimana ini?’ Tanyanya dalam hati.
Ditaruhnya
kembali sendok di tangannya ke atas nampan. Begitu banyak Tanya yang berkelebat
menghancurkan nafsu makannya. Ia berdiri dan melihat ke luar jendela. Nampaknya
ia berada di lantai 2 sebuah gedung. Di bawah sana ia melihat taman kecil
dengan beberapa orang berpakaian seragam berjalan-jalan. Taman itu dikelilingi
oleh kampu-lampu kecil dan diapit oleh koridor sempit. Ada satu jalan kecil di
tengah taman itu, dan seorang gadis sedang berlari melewatinya. Gadis yang tadi
membawakannya sarapan. Gadis itu berhenti berlari dan menengok ke atas, ke arah
wanita itu. Gadis itu tersenyum lalu melambai-lambaikan tangannya, kemudian ia
kembali berlari.
Wanita tua
itu hanya menatap punggung gadis itu yang semakin jauh dari penglihatannya.
Wajah tersenyum gadis itu masih terbayang di pikirannya. Suaranya, caranya
berbicara, posturnya yang tidak begitu tinggi dan tidak juga pendek, rambut
panjangnya yang lurus dan jatuh sempurna di bahunya, juga tatapan kosongnya
waktu itu. Semuanya terbayang. Semuanya sangat asing, namun entah kenapa…
Terasa begitu ‘Dekat’.
Ia sendiri
tidak mengerti perasaannya. Kenapa gadis itu begitu mengganggu pikirannya? Ah,
mungkin saja karena gadis yang tidak dikenalinya itu datang di pagi hari,
membawakan sarapan dan memanggilnya… ‘Ibu’.
“Ibu… ?”,
Bisiknya.
Kapan ia
pernah mendengar panggilan itu?
Perlahan ia
hampiri meja kecil tadi. Ia tarik lacinya dan menemukan sebuah cermin kecil
didalamnya. Ia ambil cermin itu, ia menatap bayangan yang terpantul disana.
Wajahnya. Wajah bulat yang sudah mulai keriput, dihiasi rambut lurus sebahu.
Wajah yang terlihat tua.
‘Sejak
kapan aku menjadi terlihat tua? … Rasanya kemarin aku…’
Pikirannya
membeku seketika. ‘Kemarin’? Ia sama sekali tidak ingat apa yang terjadi ‘kemarin’.
Kalau dipikir, ia pun tidak ingat kenapa ia bisa terbangun di tempat ini. Ia
pun tidak ingat siapa gadis tadi.
Sakit
kepala yang tiba-tiba muncul memaksa tubuhnya untuk duduk. Ia merasa ada
sesuatu yang hilang. Sesuatu yang ‘dekat’, tapi ia tidak tahu apa itu. Sebuah
melodi terlantun dalam benaknya, suatu nyanyian yang sangat lembut. Ia
lantunkan melodi itu. Setiap nada yang ia nyanyikan membuka sesuatu dalam dirinya,
menampilkan gambar-gambar di dalam pikirannya…
“Ibu!”
“Dinda hari ini ceria sekali, ya?”
“Hari ini hari yang baik untuk
jalan-jalan, ya ‘kan?”
Seakan
tersambar petir, mata wanita tua itu terbelalak saat mendengar suara-suara
dalam kepalanya.
“Dinda…”,
Bisiknya.
Ia buka
lagi laci meja kecil itu. Penuh dengan benda-benda kecil. Namun ada beberapa
benda yang menarik perhatiannya. Sebuah album foto dan sebuah catatan kecil
yang manis. Ia buka album itu. Ada wajahnya disana, bersama wajah-wajah lain
yang asing. Halaman demi halaman ia buka, hampir selalu ada dirinya, wajahnya
yang masih bersih dari kerutan. Dan di halaman terakhir, ada potret dirinya,
bersama seorang gadis berumur belasan tahun yang tersenyum bahagia. Di
atas foto itu tertulis, “Dinda sayang ibu”.
“Dinda…”
Lagi-lagi
nama itu muncul di benaknya. Mungkinkah…
Dibukanya
catatan kecil yang ia temukan. Catatan itu cukup lusuh, mungkin sudah berapa
lama tidak dibuka. Catatan itu berisi tulisan tangan yang rapi, tentang
keseharian seseorang. Catatan itu adalah diary
milik Dinda.
Banyak hal
yang tertulis disana. Mulai dari Dinda yang baru akan masuk SMP, bertemu
teman-teman baru, jalan-jalan bersama keluarga, saat ia sedih… Saat ia sedih,
ia bercerita pada ibunya. Ibunya pasti akan mendekapnya erat sambil membelai
lembut rambutnya dan memberikan nasihat-nasihat padanya. Kemudian yang paling
ia sukai adalah saat ibunya menyanyikan sebuah lagu berjudul…
“Memoria…”
Tubuhnya
bergetar. Ia mengingatnya, Ia mengingat lagu itu. Ia nyanyikan lagu itu lagi.
Ia nyanyikan lagu itu berulang-ulang.
“Dinda…
Dinda…”
Ia masih
menyanyikannya. Ia terus menyanyikannya sampai ia merasa kesal. Kenapa ia dapat
mengingat lagu itu? Tapi kenapa ia tidak bisa mengingat yang lainnya? Kenapa ia
tak tahu apa yang terjadi ‘kemarin’? Kenapa ia tak ingat alas an ia terbangun
di tempat ini? Tempat yang sepi, yang tak ia kenali? Kenapa… Kenapa ia tak
ingat siapa itu ‘Dinda’?
“Dinda sayang ibu!”
Suara itu
kembali terngiang di telinganya. Sebuah wajah polos dengan senyum bahagia
terlukis dalam pikirannya. Senyuman seorang gadis yang sangat ia sayangi…
“Dinda…
Dinda putriku…”
Tetes air
mata membasahi pipinya. Rasa rindu yang tak tertahankan menusuk-nusuk dadanya.
Kembali ia buka halaman-halaman diary
itu.
Ibu bilang hari ini kita akan berkunjung
ke rumah tante Nisa. Sebenarnya aku agak malas karena di tempat tante
ngebosenin. Yang ada Cuma anak kecil dan TV-nya pasti dinyalain untuk nonton
kartun doang! Tapi aku harus ikut, soalnnya Ayah dan Kakak juga mau ikut. Ya
udah deh!
12 Juni 2008
Ah, sudah hampir sebulan aku tidak menulis
disini lagi. Itu artinya sudah hamper sebulan sejak kecelakaan itu ya? Waktu
sangat cepat berlalu ya. Tapi ibu sampai sekarang belum sadarkan diri. Aku
harap ibu segera bangun, aku nggak ingin ditinggal ibu. Ayah sudah tiada. Apa
yang akan terjadi padaku dan kakak?
9 Juli 2008
Akhirnya ibu siuman. Tapi ada sesuatu yang
aneh dengannya. Ibu tidak mengatakan apa-apa saat melihat aku dan kakak.
Matanya kosong, seakan tidak mengenal kami. Dokter bilang ibu amnesia. Oh,
tuhan, aku bersyukur ibu sudah siuman, namun jika keadaan ibu seperti ini, aku
nggak tahu harus apa lagi…
11 Juli 2008
Lagi-lagi aku absen menulis diary. Aku dan
kakakku cukup shock. Amnesia yang dialami ibuku bukan amnesia biasa, tapi ‘anterograde amnesia’. Dokter bilang ibuku akan melupakan kejadian hari ini pada keesokan
hari, dan begitu seterusnya. Aku benar-benar sedih. Setiap harinya aku berkata,
“Ibu, ini Dinda”, “Ibu, ini anakmu, Dinda!”. Namun ternyata itu percuma. Besok,
besok lusa dan seterusnya, ibu akan terus melupakan aku. Kakak pun sudah lelah
mengingatkan. Ia bilang, “biarkan saja, kasihan Ibu.”. Tapi aku nggak ingin Ibu
melupakan aku…
21 Juli 2008
Itulah
halaman terakhir diary ini.
Sepertinya ia tidak lagi melanjutkan tulisannya.
Wanita tua
itu terisak. Ia terus membuka-buka catatan kecil itu, berharap ada tulisan lain
dari putrinya. Lalu ia menemukan satu kalimat di halaman terakhir.
“Ibu maafkan Dinda. Dinda juga lelah, sama
seperti kakak. Tapi Dinda akan selalu sayang Ibu, karena Dinda tahu meskipun
keadaan Ibu seperti ini, Ibu selalu menyayangi kami.”
Tetes air
mata itu seakan tidak mau berhenti. Ia kembali menyanyikan lagu yang ia ingat
itu, namun ia justru semakin kesal…
“Dinda…
Dinda… Dinda!!” Jeritnya.
Seorang suster
datang menghampirinya.
“Bu, ada
apa bu?”
“Dinda… Di mana
Dinda? Di mana putriku? Aku ingin bertemu sekarang!”
“Ibu,
tenangkan diri anda dulu…” Suster itu berusaha menenangkan wanita tua itu.
“Menjauh
dariku! Aku ingin bertemu putriku sekarang!!” Jerit wanita tua itu.
Tak lama
suster-suster lain datang dan berusaha menenangkannya, namun wanita itu tetap
menjerit dan berontak. Ia meloncat dari tempat tidurnya dan berlari keluar dari
kamar.
Ia berlari
sekencang yang ia bisa, sambil mendekap diary
kecil milik putrinya. Ia berlari menyusuri koridor-koridor sempit yang penuh
orang-orang, tak peduli banyak orang yang mengejarnya di belakang. Ia tak
peduli kalau ia tersesat, Ia tak peduli apa-apa lagi, yang ia pedulikan
hanyalah keinginannya untuk bertemu sang putri tercinta.
Lalu tanpa
ia sadari, Angin segar berhembus melewati tubuhnya. Ia sudah sampai di luar
gedung, dan ia tengah berdiri di tengah jalan. Lalu ia terbangun dari
lamunannya saat suara klakson yang keras merambat masuk ke telinganya.
*
* *
Dingin.
Udara
dingin menggelitik hidungnya, menusuk tulangnya. Ia membuka matanya. Ternyata
jendelanya belum ditutup, padahal langit sudah gelap… Sudah malam?
Ia melihat
di sampingnya, seorang gadis tertidur di sisi ranjang yang sedang ia tiduri.
Rambut panjangnya yang lurus jatuh menutupi wajahnya.
“Dinda…”
Bisiknya sambil membelai lembut kepala gadis itu. Ia sisihkan rambut dari wajah
gadis itu agar ia dapat melihat wajah yang sangat ia rindukan.
“Dinda…
Kamu pasti lelah ya nak? Setiap hari mengurusi Ibu yang… Kondisinya seperti
ini?” Tuturnya lirih.
Mata gadis
itu perlahan terbuka, menatap lembut ke arah sang Ibunda.
“Ibu…?”
Wanita tua
itu tersenyum lembut dengan mata berkaca-kaca, masih membelai kepala gadis itu.
“Ibu selalu
sayang Dinda…” Tutur wanita itu lembut, diringi tetesan jernih dari matanya.
Kemudian ia
menyenandungkan melodi itu. Selagi ia masih ingat, selagi hari esok belum
datang, ia ingin memberikan banyak kasih saying yang tak sempat ia beri selama
ini. Sudah berapa lama rasa sayangnya ini terkubur? Sudah berapa tahun? Dan
selama itu, putrinya terus berada di sisinya. Setiap hari ia dihadapkan oleh
kenyataan bahwa ia telah dilupakan oleh ibunya sendiri. Itu pasti membuatnya
sakit. Sangat, sangat sakit.
Kemudian
gadis itu ikut menyanyikannya, menyanyikan melodi indah yang menjadi
satu-satunya jembatan penghubung mereka dengan masa lalu yang indah, yang tak
akan kembali lagi. Diiringi dengan tetesan air dari dua pasang bola mata,
menjadikan lagu itu lebih istimewa dibanding lagu-lagu lainnya…
Memoria, melodi yang tak terlupakan…
~ F i n ~
Cruel
Time is cruel.
It keeps on ticking without any understanding.
Sun has gone and the moon has come.
The shadow slowly perish to unexistence.
The farewell that can't be told evaporate into the thin air.
How cruel of them to say that?
How cruel of them to do that?
How cruel of me... To lock you inside...
As the time continues ticking, I realize that what I want to do is protecting my other ones,
My precious other ones.
It keeps on ticking without any understanding.
Sun has gone and the moon has come.
The shadow slowly perish to unexistence.
The farewell that can't be told evaporate into the thin air.
How cruel of them to say that?
How cruel of them to do that?
How cruel of me... To lock you inside...
As the time continues ticking, I realize that what I want to do is protecting my other ones,
My precious other ones.
New header + New template!
Yay~ Finally a new header!
The girl is one of my three main persona : Mizuki Aiko
Aiko is my Yandere side, who often comes out when I'm angry or upset. She always being sarcastic but that's her way to defend herself. She is... Well, selfish and hard-headed. And you know yanderes... We shouldn't talk abou it, lol
Image with better quality is avaolable on my DA : check it out!
The girl is one of my three main persona : Mizuki Aiko
Aiko is my Yandere side, who often comes out when I'm angry or upset. She always being sarcastic but that's her way to defend herself. She is... Well, selfish and hard-headed. And you know yanderes... We shouldn't talk abou it, lol
Image with better quality is avaolable on my DA : check it out!
Sabtu, 03 November 2012
~ Secret Thought ~ _chapitre 1, "Présentation" _
Frustasi. Luke samasekali tidak mempercayai pemandangan di matanya.
"Kenapa kau lakukan ini?!" Luke meringis menatap gadis dihadapannya. Gadis itu terbaring lemah dilantai sambil menangis sunyi, dengan cutter di tangan kanannya, dan darah mengalir di tangan kirinya. Air matanya menetes bersamaan dengan suara jarum jam.
Luke merasa semakin lama jam itu makin melambat. Napasnya juga semakin berat.
Frustasi. Luke meraih tangan gadis itu."Kau tidak harus menanggung semuanya sendiri..."
***
"Luke Sieghart...?"
Suara yang sangat pelan merambat masuk ke telinga Luke.
"kau mencari ini?"
Luke menoleh dan mendapati seorang gadis yang membawa sesuatu yang dia cari. Harusnya ia langsung menerima buku itu, namun ada sesuatu yang membekukan dirinya. Dan saat itulah Luke tenggelam dalam tatapan gadis itu. Warna biru kehitaman yang sangat sepi, yang mengikat pandangan mata Luke.
"terima kasih." akhirnya tangan Luke bergerak menerima buku itu. Namun pandangannya tetap terkunci pada gadis itu. Gadis itu segera berbalik dan beranjak pergi.
"Tunggu! Kamu--"
"Remillia Amoretta. Kita sekelas." potong gadis itu. Lalu kembali melangkah.
Pertemuan yang tak akan pernah dilupakan oleh Luke. Pertemuan singkat yang telah menenggelamkan kesadarannya ke dalam lautan penuh 'mystery' dan 'misery'. Ke dalam lautan bernama 'Remillia Amoretta'.
***
"Rendezvous?" ucap Luke dengan senyum maksa. Remillia yang ada dihadapannya tidak merespon, karena ia sendiri tidak mengerti maksud Luke.
"kamu, dan aku. Rendezvous?" Luke mengulangi pertanyaannya.
Mulut Remillia membentuk huruf 'o' tanda ia mengerti. Kemudian disusul dengan senyum tipis dan tawa yang sangat transparan.
"maaf, cuma itu kata bahasa Perancis yang aku tahu... Kamu... Suka bahasa Perancis, 'kan?"Begitulah. Luke terus mencari tahu dan mempelajari semua tentang gadis ini. Remillia Amoretta. Murid pindahan yang baru pindah ke sekolah ini sekitar 3 bulan lalu. Gadis ini mengunci dirinya dalam kesunyian. Tidak bicara kecuali jika benar-benar harus. Serius saat belajar, namun terkadang Luke melihatnya melamun, menatap ke arah langit. Jarang sekali tersenyum. Kejadian 'rendezvous' itulah pertamakalinya Luke melihat Remillia tersenyum. Dan gadis ini juga hampir selalu sendirian. Lebih sering berada dalam kelas, paling hanya pergi ke perpustakaan.
Selain itu, yang Luke dapatkan dari gosip teman-temannya, Remillia memiliki masalah psikologis (gosipnya, karena itulah dia pindah sekolah), namun ia pandai bahasa Perancis.
"jadi... Uh, rendezvous?" Luke masih bersikeras.
"... Non. Je suis occupèe" jawab Remillia, "Mais je peux vous voir à la bibliothèque demain.."
Luke menatapnya dengan mata penuh tanda tanya. Ia tak mengerti satupun kata-kata yang Remillia ucapkan. Kemudian Remillia kembali tertawa tipis. Meskipun bingung, Luke senang bisa melihat tawa gadis bertubuh mungil itu.
Tanpa sepengetahuan mereka, sepasang bola mata memperhatikan dari kejauhan.
***
"Luke~ selamat pagi!" sapa seorang gadis yang berlari menghampiri Luke.
"oh, hai Claire."
"Luke! Sudah kubilang, namaku Clarissa!"
Luke hanya merespon dengan cengiran, kemudian menghampiri Remillia yang sedang melamun di dalam kelas. Dari kejauhan, Clarissa menatap mereka lekat-lekat.
***
"kamu... Remillia Amoretta, 'kan?"
Remillia menoleh dan mendapati seorang gadis berambut pirang menatapnya tajam.
"kamu siapa?" tanya Remillia.
Gadis itu menjawab pertanyaan Remillia dengan tatapan dingin, membuat tubuh Remillia bergidik. Kemudian dua orang gadis lain muncul dari balik punggung gadis itu, menatapnya tajam. Remillia refleks mundur hingga punggungnya rapat dengan lemari buku di belakangnya.
"Kamu anak baru kan?!" gadis itu meninggikan nada bicaranya. Kata-kata berikutnya tidak Remillia dengarkan. Badannya bergetar hebat dan kedua lengannya memeluk erat buku yang ia bawa. Otaknya memutar ulang gambar-gambar masa lalunya.
"hey! Kamu dengar tidak?!" tangan kanan Gadis itu meraih pundak Remillia, refleks Remillia menepisnya.
"Menjauhlah!!" jerit Remillia. Napasnya tersengal-sengal.
"Apa maksudmu?! Kau daritadi tidak mendengarkan kami?!"
Tatapan ketiga gadis itu sangat mengintimidasi. Kaki Remillia bergetar hebat.
"Baru tiga bulan di sini saja sudah sombong. Dasar gadis sampah!"
Remillia menjatuhkan buku di pelukannya, mengagetkan ketiga gadis tadi. Ekspresi Remillia yang ketakutan berubah total. Tangannya meraih cutter yang ia simpan dalam kantong roknya kemudian ia todongkan kepada tiga gadis tadi.
"menjauh... Menjauhlah..." tutur Remillia dengan suara pelan dan bergetar.
"a- apa yang kau lakukan?" salah satu dari ketiga gadis itu mulai panik.
"hentikan!!"
Napas Remillia semakin tidak teratur. Tangan kirinya mencengkram dadanya yang terasa sesak.
"kubilang... Menjauh dariku!!" jeritnya. Sedetik kemudian pandangannya menjadi gelap.
***
"Claire!", seru Luke dengan napas tersengal-sengal, "Apa... Remillia di dalam?" tanyanya sambil menunjuk ke arah UKS.
Clarissa memalingkan wajahnya, lalu menjawab, "iya. Tapi kamu belum boleh masuk, bu Anne lagi di dalam."
"bu Anne... Guru BP, kan?" tanya Luke sambil berusaha mengatur napasnya, "Claire, sebenarnya apa yang terjadi?"
"jangan tanya aku!", Clarissa setengah teriak, "di- dia yang menodongkan pisau pada kami, lalu ia pingsan sendiri!"
Luke menghela napas panjang, kemudian menyandarkan tubuhnya ke dinding sambil menatap lantai. Clarissa menatap ekspresi di wajah Luke. Ia menggigit bibir bawahnya.
"Luke, kamu... Ah, tidak." Clarissa menggeleng, "aku... Minta maaf."
Luke menoleh pada Clarissa, ia ingin bertanya 'kenapa', namu disela oleh perkataan Clarissa berikutnya.
"mungkin akulah yang menyebabkan ia pingsan... Bu Anne mengatakan, sepertinya Remillia memiliki trauma berat hingga menyebabkan stressnya naik. Mungkin aku sudah mengatakan sesuatu yang..." Clarissa menghentikan perkataannya saat merasa pintu UKS terbuka.
"maaf." katanya singkat, lalu berlari pergi.Ternyata yang membuka pintu adalah bu Anne. Luke menatap punggung kecil Clarissa yang menjauh lalu menghampiri sang guru BP.
"bagaimana Remillia, bu?"
"Luke Sieghart ya? Hmhm, saat ini temanmu berada di bawah tekanan berat. Ia tidak ingin berbicara dengan ibu, bagaimana kalau kau saja?"
"saya? A- apa yang harus saya..."
"berbincang saja dengan santai. Jika ia mulai memberitahu sesuatu yang penting, tolong beritahu ibu.
"Luke mengangguk, kemudian sang guru beranjak pergi. Luke masuk ke dalam dengan langkah yang berat.
"Re... Millia?"
Remillia duduk di atas tempat tidur, dengan selimut menutupi kedua kakinya dan kepalanya menunduk. Seluruh tubuh Luke entah mengapa terasa kaku.
"beliau... Tidak akan datang... Kan?" tutur Remillia pelan.
"Remillia, kenapa?" Luke mendekati tempat tidur Remillia.
"Bu Anne... Beliau tidak akan datang ke rumahku kan? Beliau tidak akan... Menemui ayah, kan? Kalau beliau... Bertemu... Aku, aku..." Tangannya mengepal selimut dengan keras, pupil matanya mengecil dan badannya sedikit bergetar. Luke mengalami dilemma, ia ingin tahu kenapa Remillia tidak ingin bu Anne menemui ayahnya, tapi ia juga tidak ingin membuatnya tambah tertekan.
Luke meraih kepalan tangan Remillia dengan gugup, "kalau kamu nggak mau, aku akan coba membujuk bu Anne. Aku akan membantumu..."
"Benarkah?!" Luke terkejut, tiba-tiba Remillia menatapnya dengan kening berkerut, dan bola mata yang seolah ingin menjerit.
"ya... Kamu nggak perlu menanggung semuanya sendiri lagi..." ucap Luke sambil berusaha tersenyum. Luke tambah kaget saat Remillia mendaratkan kepalanya ke atas pundak Luke. Ia bisa mendengar bisikan "terima kasih... Terima kasih...". Ia pikir Remillia akan menangis, tapi ternyata tidak. Itu membuatnya berpikir kalau Remillia adalah gadis yang lemah, saking lemahnya emosinya tak bisa tertumpah keluar.Luke sebenarnya ingin membelai rambutnya atau sekedar menjawab bisikannya. Tapi ia seakan tersihir menjadi batu. Namun ia tak peduli. Baginya saat ini, menjadi batu yang menopang gadis itu sudah cukup.
***
"kalian tahu anak kelas XX? Yang bernama Amoretta?"
"anak pindahan itu?"
"ia selalu membawa cutter kemana-mana! Mencurigakan banget!"
"katanya ia pernah nodong orang lho!"
" jangan-jangan dia psycho haus darah?!"
"psst. Dia datang!"
Remillia berjalan melewati gerombolan penggosip tadi. Tangannya kanannya menggenggam cutter yang disembunyikan dalam kantongnya.
"De Javu" bisiknya.
_bersambung-->ch.2_
a/n : oh, ya. Kenapa Luke memanggil Clarissa dengan panggilan Claire? Yah, sebenarnya dia berpikir kalau nama "Clarissa" tidak cocok untuk cewek itu... Clarissa 'kan nama yang anggun, sedangkan cewek itu lincah dan cerewet (meskipun nggak tomboy). Jadi menurutnya 'Claire' jauh lebih cocok. Haahaahaa... Alasan ngaco -__-a
New Template!
The new template is from a Visual-Novel entitled "Juniper's Knot".
It's a great game novel with an emotional storyline, beautiful artwork and amazing music~
You can download it here.
Langganan:
Postingan (Atom)