Halooo~ Ini cerita yang (rencananya) mau kukirim buat lomba nulis cerpen! Enjoy~
“Memoria”
~ Melodi yang
Tak Terlupakan ~
“Rasanya seperti melangkah di atas pasir di pinggir pantai. Jejakmu
akan terhapus begitu ombak datang menerjang…”
* * *
“Selamat
pagi”
Bisikan
lembut yang asing merambat di telinganya, seiring dengan semilir angin yang
membelai pipinya. Wangi teh melati pun samar-samar tercium. Wanita itu membuka
matanya, dan ia melihat jendela yang telah terbuka dengan korden putih berdansa
bersama hembusan angin. Matanya menyapu seluruh ruangan. Dan yang ia lihat
sebuah ruangan serba putih yang asing. Tidak begitu sempit dan tidak begitu
luas, besarnya jendela membuat sinar mentari mampu menerangi seluruh ruangan.
Yang ada di ruangan itu hanyalah sebuah ranjang yang sedang ia tiduri, sebuah
meja dengan vas bunga dan teko teh di atasnya, dan sebuah sofa yang dihiasi
bantal berwarna hijau, kontras dengan warna putih yang menyelimuti sekitar.
Begitu ia beranjak dari tempat tidurnya, seorang gadis berseragam SMA berjalan
masuk membawa nampan penuh makanan.
“Ibu sudah
bangun?”, Tanya gadis itu dengan seyuman lembut mengembang di bibirnya.
Wanita tua
itu hanya terdiam mendengar pertanyaan itu. Ia menatap gadis itu lekat-lekat
dari ujung kepala hingga ujung kaki.
‘Siapa…
Gadis itu?’ Batinnya.
Gadis itu
berjalan mendekati meja kecil di sisi tempat tidur dan meletakkan nampan yang
tadi di atasnya. Wanita tua itu memperhatikan setiap gerak-geriknya dengan
seksama. Begitu banyak tanya yang berkelebat dalam hatinya, namun entah kenapa
bibirnya terkunci rapat, tak mengeluarkan sepatah kata pun.
“Ini
sarapan ibu. Ayo dimakan sekarang, nanti keburu dingin.” Tutur gadis itu
lembut.
Wanita tua
tadi masih menatapnya dengan bingung. Meskipun begitu, sang gadis tetap
tersenyum lembut seakan tak menyadari tatapan wanita itu. Gadis itu memberi isyarat
pada wanita tua itu untuk duduk di tempat tidur, kemudian ia sendiri mengambil
kursi tak jauh dari tempat itu lalu mendudukinya. Melihat si wanita tua tidak
melakukan apa-apa, ia kembali bertanya,
“Ibu ingin
makan sendiri? Apa perlu saya suapi?” Tanya gadis itu disertai tawa lirih.
Wanita itu
masih tetap terdiam, namun akhirnya ia memutuskan untuk duduk dan meraih sendok
di atas nampan tadi. Perlahan-lahan wanita itu mengunyah makanan yang ada di
mulutnya. Sesekali ia melirik kearah gadis tadi, dan ia menyadari senyum
lembutnya sudah tak lagi berkembang. Gadis itu menatap kosong kearah secangkir
teh di sebelah nampan. Wanita tua itu pun ikut menatap cangkir teh itu. Wangi
melatinya seakan mengingatkannya akan sesuatu, namun ia tidak tahu apa.
Wanginya terasa begitu… ‘Dekat’…
“Oh,
astaga! Maaf Bu, saya harus pergi!” Kata gadis itu sambil beranjak dari
kursinya begitu melihat kearah jam. Gadis itu berlari ke pintu, namun ia
berhenti sebentar lalu menengok kebelakang.
“Assalamu’alaikum…”
Ucapnya, kemudian melanjutkan larinya keluar.
“…
Waalaikum salam…” Jawab wanita tua itu akhirnya. Ia berhenti mengunyah
makanannya, menatap ke arah pintu yang setengah tertutup.
‘Siapa
gadis tadi? … Dan dimana ini?’ Tanyanya dalam hati.
Ditaruhnya
kembali sendok di tangannya ke atas nampan. Begitu banyak Tanya yang berkelebat
menghancurkan nafsu makannya. Ia berdiri dan melihat ke luar jendela. Nampaknya
ia berada di lantai 2 sebuah gedung. Di bawah sana ia melihat taman kecil
dengan beberapa orang berpakaian seragam berjalan-jalan. Taman itu dikelilingi
oleh kampu-lampu kecil dan diapit oleh koridor sempit. Ada satu jalan kecil di
tengah taman itu, dan seorang gadis sedang berlari melewatinya. Gadis yang tadi
membawakannya sarapan. Gadis itu berhenti berlari dan menengok ke atas, ke arah
wanita itu. Gadis itu tersenyum lalu melambai-lambaikan tangannya, kemudian ia
kembali berlari.
Wanita tua
itu hanya menatap punggung gadis itu yang semakin jauh dari penglihatannya.
Wajah tersenyum gadis itu masih terbayang di pikirannya. Suaranya, caranya
berbicara, posturnya yang tidak begitu tinggi dan tidak juga pendek, rambut
panjangnya yang lurus dan jatuh sempurna di bahunya, juga tatapan kosongnya
waktu itu. Semuanya terbayang. Semuanya sangat asing, namun entah kenapa…
Terasa begitu ‘Dekat’.
Ia sendiri
tidak mengerti perasaannya. Kenapa gadis itu begitu mengganggu pikirannya? Ah,
mungkin saja karena gadis yang tidak dikenalinya itu datang di pagi hari,
membawakan sarapan dan memanggilnya… ‘Ibu’.
“Ibu… ?”,
Bisiknya.
Kapan ia
pernah mendengar panggilan itu?
Perlahan ia
hampiri meja kecil tadi. Ia tarik lacinya dan menemukan sebuah cermin kecil
didalamnya. Ia ambil cermin itu, ia menatap bayangan yang terpantul disana.
Wajahnya. Wajah bulat yang sudah mulai keriput, dihiasi rambut lurus sebahu.
Wajah yang terlihat tua.
‘Sejak
kapan aku menjadi terlihat tua? … Rasanya kemarin aku…’
Pikirannya
membeku seketika. ‘Kemarin’? Ia sama sekali tidak ingat apa yang terjadi ‘kemarin’.
Kalau dipikir, ia pun tidak ingat kenapa ia bisa terbangun di tempat ini. Ia
pun tidak ingat siapa gadis tadi.
Sakit
kepala yang tiba-tiba muncul memaksa tubuhnya untuk duduk. Ia merasa ada
sesuatu yang hilang. Sesuatu yang ‘dekat’, tapi ia tidak tahu apa itu. Sebuah
melodi terlantun dalam benaknya, suatu nyanyian yang sangat lembut. Ia
lantunkan melodi itu. Setiap nada yang ia nyanyikan membuka sesuatu dalam dirinya,
menampilkan gambar-gambar di dalam pikirannya…
“Ibu!”
“Dinda hari ini ceria sekali, ya?”
“Hari ini hari yang baik untuk
jalan-jalan, ya ‘kan?”
Seakan
tersambar petir, mata wanita tua itu terbelalak saat mendengar suara-suara
dalam kepalanya.
“Dinda…”,
Bisiknya.
Ia buka
lagi laci meja kecil itu. Penuh dengan benda-benda kecil. Namun ada beberapa
benda yang menarik perhatiannya. Sebuah album foto dan sebuah catatan kecil
yang manis. Ia buka album itu. Ada wajahnya disana, bersama wajah-wajah lain
yang asing. Halaman demi halaman ia buka, hampir selalu ada dirinya, wajahnya
yang masih bersih dari kerutan. Dan di halaman terakhir, ada potret dirinya,
bersama seorang gadis berumur belasan tahun yang tersenyum bahagia. Di
atas foto itu tertulis, “Dinda sayang ibu”.
“Dinda…”
Lagi-lagi
nama itu muncul di benaknya. Mungkinkah…
Dibukanya
catatan kecil yang ia temukan. Catatan itu cukup lusuh, mungkin sudah berapa
lama tidak dibuka. Catatan itu berisi tulisan tangan yang rapi, tentang
keseharian seseorang. Catatan itu adalah diary
milik Dinda.
Banyak hal
yang tertulis disana. Mulai dari Dinda yang baru akan masuk SMP, bertemu
teman-teman baru, jalan-jalan bersama keluarga, saat ia sedih… Saat ia sedih,
ia bercerita pada ibunya. Ibunya pasti akan mendekapnya erat sambil membelai
lembut rambutnya dan memberikan nasihat-nasihat padanya. Kemudian yang paling
ia sukai adalah saat ibunya menyanyikan sebuah lagu berjudul…
“Memoria…”
Tubuhnya
bergetar. Ia mengingatnya, Ia mengingat lagu itu. Ia nyanyikan lagu itu lagi.
Ia nyanyikan lagu itu berulang-ulang.
“Dinda…
Dinda…”
Ia masih
menyanyikannya. Ia terus menyanyikannya sampai ia merasa kesal. Kenapa ia dapat
mengingat lagu itu? Tapi kenapa ia tidak bisa mengingat yang lainnya? Kenapa ia
tak tahu apa yang terjadi ‘kemarin’? Kenapa ia tak ingat alas an ia terbangun
di tempat ini? Tempat yang sepi, yang tak ia kenali? Kenapa… Kenapa ia tak
ingat siapa itu ‘Dinda’?
“Dinda sayang ibu!”
Suara itu
kembali terngiang di telinganya. Sebuah wajah polos dengan senyum bahagia
terlukis dalam pikirannya. Senyuman seorang gadis yang sangat ia sayangi…
“Dinda…
Dinda putriku…”
Tetes air
mata membasahi pipinya. Rasa rindu yang tak tertahankan menusuk-nusuk dadanya.
Kembali ia buka halaman-halaman diary
itu.
Ibu bilang hari ini kita akan berkunjung
ke rumah tante Nisa. Sebenarnya aku agak malas karena di tempat tante
ngebosenin. Yang ada Cuma anak kecil dan TV-nya pasti dinyalain untuk nonton
kartun doang! Tapi aku harus ikut, soalnnya Ayah dan Kakak juga mau ikut. Ya
udah deh!
12 Juni 2008
Ah, sudah hampir sebulan aku tidak menulis
disini lagi. Itu artinya sudah hamper sebulan sejak kecelakaan itu ya? Waktu
sangat cepat berlalu ya. Tapi ibu sampai sekarang belum sadarkan diri. Aku
harap ibu segera bangun, aku nggak ingin ditinggal ibu. Ayah sudah tiada. Apa
yang akan terjadi padaku dan kakak?
9 Juli 2008
Akhirnya ibu siuman. Tapi ada sesuatu yang
aneh dengannya. Ibu tidak mengatakan apa-apa saat melihat aku dan kakak.
Matanya kosong, seakan tidak mengenal kami. Dokter bilang ibu amnesia. Oh,
tuhan, aku bersyukur ibu sudah siuman, namun jika keadaan ibu seperti ini, aku
nggak tahu harus apa lagi…
11 Juli 2008
Lagi-lagi aku absen menulis diary. Aku dan
kakakku cukup shock. Amnesia yang dialami ibuku bukan amnesia biasa, tapi ‘anterograde amnesia’. Dokter bilang ibuku akan melupakan kejadian hari ini pada keesokan
hari, dan begitu seterusnya. Aku benar-benar sedih. Setiap harinya aku berkata,
“Ibu, ini Dinda”, “Ibu, ini anakmu, Dinda!”. Namun ternyata itu percuma. Besok,
besok lusa dan seterusnya, ibu akan terus melupakan aku. Kakak pun sudah lelah
mengingatkan. Ia bilang, “biarkan saja, kasihan Ibu.”. Tapi aku nggak ingin Ibu
melupakan aku…
21 Juli 2008
Itulah
halaman terakhir diary ini.
Sepertinya ia tidak lagi melanjutkan tulisannya.
Wanita tua
itu terisak. Ia terus membuka-buka catatan kecil itu, berharap ada tulisan lain
dari putrinya. Lalu ia menemukan satu kalimat di halaman terakhir.
“Ibu maafkan Dinda. Dinda juga lelah, sama
seperti kakak. Tapi Dinda akan selalu sayang Ibu, karena Dinda tahu meskipun
keadaan Ibu seperti ini, Ibu selalu menyayangi kami.”
Tetes air
mata itu seakan tidak mau berhenti. Ia kembali menyanyikan lagu yang ia ingat
itu, namun ia justru semakin kesal…
“Dinda…
Dinda… Dinda!!” Jeritnya.
Seorang suster
datang menghampirinya.
“Bu, ada
apa bu?”
“Dinda… Di mana
Dinda? Di mana putriku? Aku ingin bertemu sekarang!”
“Ibu,
tenangkan diri anda dulu…” Suster itu berusaha menenangkan wanita tua itu.
“Menjauh
dariku! Aku ingin bertemu putriku sekarang!!” Jerit wanita tua itu.
Tak lama
suster-suster lain datang dan berusaha menenangkannya, namun wanita itu tetap
menjerit dan berontak. Ia meloncat dari tempat tidurnya dan berlari keluar dari
kamar.
Ia berlari
sekencang yang ia bisa, sambil mendekap diary
kecil milik putrinya. Ia berlari menyusuri koridor-koridor sempit yang penuh
orang-orang, tak peduli banyak orang yang mengejarnya di belakang. Ia tak
peduli kalau ia tersesat, Ia tak peduli apa-apa lagi, yang ia pedulikan
hanyalah keinginannya untuk bertemu sang putri tercinta.
Lalu tanpa
ia sadari, Angin segar berhembus melewati tubuhnya. Ia sudah sampai di luar
gedung, dan ia tengah berdiri di tengah jalan. Lalu ia terbangun dari
lamunannya saat suara klakson yang keras merambat masuk ke telinganya.
*
* *
Dingin.
Udara
dingin menggelitik hidungnya, menusuk tulangnya. Ia membuka matanya. Ternyata
jendelanya belum ditutup, padahal langit sudah gelap… Sudah malam?
Ia melihat
di sampingnya, seorang gadis tertidur di sisi ranjang yang sedang ia tiduri.
Rambut panjangnya yang lurus jatuh menutupi wajahnya.
“Dinda…”
Bisiknya sambil membelai lembut kepala gadis itu. Ia sisihkan rambut dari wajah
gadis itu agar ia dapat melihat wajah yang sangat ia rindukan.
“Dinda…
Kamu pasti lelah ya nak? Setiap hari mengurusi Ibu yang… Kondisinya seperti
ini?” Tuturnya lirih.
Mata gadis
itu perlahan terbuka, menatap lembut ke arah sang Ibunda.
“Ibu…?”
Wanita tua
itu tersenyum lembut dengan mata berkaca-kaca, masih membelai kepala gadis itu.
“Ibu selalu
sayang Dinda…” Tutur wanita itu lembut, diringi tetesan jernih dari matanya.
Kemudian ia
menyenandungkan melodi itu. Selagi ia masih ingat, selagi hari esok belum
datang, ia ingin memberikan banyak kasih saying yang tak sempat ia beri selama
ini. Sudah berapa lama rasa sayangnya ini terkubur? Sudah berapa tahun? Dan
selama itu, putrinya terus berada di sisinya. Setiap hari ia dihadapkan oleh
kenyataan bahwa ia telah dilupakan oleh ibunya sendiri. Itu pasti membuatnya
sakit. Sangat, sangat sakit.
Kemudian
gadis itu ikut menyanyikannya, menyanyikan melodi indah yang menjadi
satu-satunya jembatan penghubung mereka dengan masa lalu yang indah, yang tak
akan kembali lagi. Diiringi dengan tetesan air dari dua pasang bola mata,
menjadikan lagu itu lebih istimewa dibanding lagu-lagu lainnya…
Memoria, melodi yang tak terlupakan…
~ F i n ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar