Kamis, 27 Desember 2012

The Undone Story I made back in... 2009 I guess?



“The Secrets of  Kevin Sandler”

One : Secrets Unrevealed


            Tokyo, Jepang, 04 : 23 …

            Sebuah pesawat kecil mendarat di Bandara Internasional Narita.
            “Hmm… Aku kangen tempat ini…” kata seorang cowok yang kira-kira berumur dua puluh tahunan itu sambil turun dari pesawat.
            “Ingat Kevin, kita disini untuk tugas. Bukan untuk liburan.” Tukas pria bertubuh besar dibelakangnya. Cowok yang tadi dipanggil Kevin berhenti mendadak dan membalikkan badannya.
            “Yo, aku tahu itu, botak! Y’don’t have to be so cruel y’know?!” Ujar Kevin dengan gaya Hip Hop. Setelah itu dia berbalik lagi dan meneriakkan kata-kata yang asing bagi pria botak tadi.
            “Bahasa apa yang dia pakai?” bisik pria botak itu kepada seseorang di belakangnya.
            “Bahasa Jepang, pak.”
            “Apa dia mengejekku?”
            “Tidak, pak.”
            “Hmph… Dasar anak muda.” Gumam pria botak itu.

~###~

            Pusat kota Tokyo, 07 : 15 …

            Tokyo di pagi hari, tak terbayang sibuknya orang berlalu lalang untuk segera memulai aktivitas mereka. Tapi dibalik kesibukan itu, tak ada yang menyadari keberadaan seorang cowok berambut kemerahan yang sedang melompat dari satu gedung ke gedung yang lain. Cuaca yang cerah justru membuatnya sulit dilihat karena dia memakai pakaian serbaputih. Cowok itu berhenti di satu gedung yang cukup tinggi, kemudian mengambil binocular (semacam teropong tapi lebih canggih :) dan mengobservasi gedung raksasa yang ada di depannya.
            “Cuaca cerah dan target ada di lokasi. Semua sesuai rencana.” Batinnya.
            Dia langsung memasukkan binocular itu dan mengambil grappling hook (senjata yang melemparkan pengait) dari ranselnya dan menembakkannya kea rah lantai 49 gedung tersebut. Dia menggunakannya untuk masuk ke gedung itu. Semua dia lakukan dengan cepat, tak ada satupun yang melihatnya. Setelah menyelesaikan urusannya di lantai 49, dia segera naik ke lantai 50, lantai paling atas tempat target berada.
            Begitu sampai di kantor si target, dia langsung menodongkan pistol semi-automatisnya pada sebuah kursi yang membelakanginya.
            “Maaf, Yamada-san. Bisnismu berakhir di sini.” Katanya sambil menarik pelatuk pistolnya. Tapi dia kaget karena si target dapat menghindari tembakannya dengan gaya acrobat yang luar biasa. Padahal di profil si target tak ada tulisan yang membahas kalau dia bisa melakukan acrobat!
            “Yo~ salah orang!!” Ternyata orang itu adalah Kevin.
            “Kevin Sandler?!” Cowok berambut kemerahan tadi geram melihat Kevin.
            “Red Poison, ‘kan? Kita pernah bertemu…” sambut Kevin.
            Meraka saling bertatapan. Mereka saling kenal satu sama lain karena pernah bertemu sebelumnya. Pertemuan yang sama seperti ini. Pertemuan yang mengharuskan mereka untuk bertarung.
            Kevin Sandler, anggota tim White Eagle yang biasa disewa untuk melawan pembunuh bayaran level tinggi.
            Red Poison, salah satu pembunuh bayaran yang sangat popular. Anggota organisasi Bloody Tears, organisasi pembunuh bayaran yang cukup besar.
            “Mungkin kemarin aku kalah darimu, tapi kali ini…” Red Poison tidak melanjutkan perkataannya, ia langsung mengambil sebuah senapan otomatis dari dalam ranselnya.
            “… Kali ini akulah yang akan menang!” Lanjutnya dengan percaya diri dan menghujani lawannya dengan serentetan peluru.
            Kevin yang sudah siap menghindari tembakan itu dengan bersalto ke kiri, bersembunyi di balik lemari kayu yang lumayan besar. Kemudian dia mengeluarkan Dual Elite-nya dan bersiap untuk menyerang balik!

~###~

            Sementara itu…

            Eriko membuka laptopnya. Tak ada E-mail baru. Dia sedang menunggu E-mail dari temannya yang sedang ada di luar kota, namanya Rei. Rei adalah teman masa kecilnya. Saat kakaknya meninggal, Rei-lah yang menghiburnya. Tapi dia tidak membalas E-mail Eriko sejak tiga bulan lalu. Eriko memutuskan untuk turun dan melahap sarapannya.
            Ohayo, Ibu.” Tuturnya menyapa ibunya.
            “ah, Ohayo. Kamu sudah bangun ya?” Balas ibunya dengan senyum ramah.
            Eriko memberikan jawabannya dengan anggukan.
            “ah, Eriko. Hari ini kamu berangkat pakai mobil saja ya?”
            “he? Kenapa?” Tanya Eriko.
            “yaa… Nggak papa. Bukannya kamu senang? Lagipula temanmu Hikari mau minta diantarkan.”
            “ooh.. Baiklah kalau begitu.”

~###~

            Kembali ke pertarungan yang tadi.

            Kantor yang tadinya rapi tertata menjadi hancur berantakan dalam sekejap karena hujan peluru yang dilepaskan Kevin dan Red Poison. Meskipun begitu, belum ada satu peluru pun yang menembus kulit mereka.
            “Kevin, lapor status.” Perintah seseorang di komunikator Kevin.
            “Sibuk, yo!” jawabnya.
            “Target aman bersamaku.”
            “Aku nggak nanya, botak!”
            “Butuh bantuan?”
            “Nggak.”
            “Aku akan tetap datang.”
            “AKH!”
            “Kevin?!”
            Akhirnya sebuah tembakan Red Poison sukses mengenai paha kanannya. Ia berusaha untuk tidak bersuara, lawan tidak boleh tahu kalau ia sedang terluka saat ini. Ia lalu berlari keluar kantor itu. Red Poison mengikuti di belakangnya, lalu ia tersenyum melihat ada bercak darah di lantai.
            “Kevin? Ada apa?” Komunikator Kevin berbunyi lagi.
            “Kantor itu terlalu sempit. Aku butuh ruang gerak yang lebih luas! Pastikan lantai 49 kosong!”
            “Aku akan datang untuk membantumu.”
            “Grrr… Tidak usah!” Kevin membuang komunikatornya. Ia masuk ke sebuah kantor lain yang kosong dan bersembunyi di balik meja. Tiba-tiba saja kepalanya terasa pusing dan pandangannya sedikit memudar. Ia baru sadar satu hal ;
            ‘Racun! Pasti ia menaruh racun Dalam pelurunya tadi!’ batin Kevin. Kevin menyesal tidak menyadari ini lebih awal, ia juga menyesal sudah menolak bantuan dari temannya. Baru saja ia berdiri untuk mencari komunikator yang tadi dia buang, sosok Red Poison sudah muncul di hadapannya!
            “Bagaimana? Sudah pusing?” Tanya Red Poison dengan nada meremahkan. Kevin langsung melepaskan tembakan ke arahnya, tapi Red Poison dapat menghindar dengan mudah! Kepala Kevin juga semakin pusing, tanpa dia sadari dua keeping peluru sudah bersarang di betis kirinya, membuatnya jatuh telungkup.
            Red Poison berjalan mendekat, ia menatap Kevin penuh kebencian
            “Sayonara.” Gumamnya. Kemudian ia mengarahkan pistolnya ke kepala Kevin dan…
            KLIK KLIK!
            Ternyata pelurunya habis! Kesempatan ini digunakan dengan baik oleh Kevin, Tenaga yang tersisa ia gunakan untuk menendang kaki Red Poison hingga jatuh dan berbalik menodongkan pistolnya ke arah Red Poison.
            “Hh… Lakukanlah… Bunuh aku SEKARANG!”
            Kevin tersenyum dan mendaratkan peluru kea rah tangan dan kaki Red Poison.
            “AAAKH! Kenapa tidak langsung kau bunuh saja aku?”
            “Aku nggak bakal pernah membunuh…” Ujar Kevin lalu meninggalkan Red Poison di tempatnya.
            “Hmm… jadi begitukah permainanmu?” Kata Red Poison sambil tersenyum kecil.
            “Apa?”
            “Aku juga ada permainan…” Lanjutnya sambil berusaha berdiri.
            “Apa yang sedang kau rencanakan?” Tanya Kevin.
            “Dalam Sembilan… ah tidak, delapan menit lagi tempat ini akan meledak.” Katanya sambil menyunggingkan senyum di bibirnya.
            “Apa? Kau menanam bom?!” Tanyanya lagi. Red Poison diam saja.
            “KEPARAT KAU!!” Kesal Kevin sambil menonjok Red Poison hingga jatuh.
            “Kau membuang waktumu, Kevin… 7 menit lagi…”
            “Dimana kau menanamnya?!”
            “Entahlah… Di sekitar lantai 49?” Jawabnya. Tanpa membuang waktu, Kevin berlari ke lantai bawah.

~###~

            Kevin sudah mencari kemana-mana, tapi ia belum menemukan bomnya. Tepat saat ia merencanakan untuk pergi, Ia menemukan satu titik bercahaya merah. Itulah bomnya! Tapi ia sudah terlambat, waktunya tinggal 5 detik untuk meninggalkan gedung itu!

00:05:00

            Dia berlari dan terus berlari, dia tak ingin menyia-nyiakan hidupnya disini..

00:04:00

            Masih banyak yang ingin dia lakukan…

00:03:00

            Termasuk…

00:02:00

            Bertemu dengan dia…

00:01:00

            BOOM!!!

~###~

            “Kyaaaaa! REM! REM!” Teriak Hikari di belakang.
            CKIIIIIIT!
            “Astaga, suara apa itu tadi?” Tanya Eriko yang sedang menyetir.
            “Kamu dengar ‘kan?” Lanjut Eriko, mengalihkan pandangannya ke belakang.
            “Iya! Tapi kamunya juga nggak usah sampai hilang kendali gitu, dong! Bisa mati orang!” Hikari berusaha mengatur napasnya. Eriko tertawa kecil lalu melihat ke depan lagi.
            “Astaga…” gumam Eriko hampir tak terdengar, tapi sampai ke telinga Hikari.
            “Ada apa?” Tanya Hikari. Eriko tak menjawab, ia seperti orang yang sedang dihipnotis, terus melihat ke depan.
            “Eriko?” Tanyanya lagi. Lalu ia melihat kearah yang sama dengan Eriko.
            “What the…”

            Mereka tak bisa menjelaskan pemandangan yang mereka lihat. Sebuah gedung raksasa yang bagian atasnya terbakar…



To be Continued

Jumat, 09 November 2012

~ Secret Thought ~ _chapitre 2, la confession_

Chapter 2 of Secret Thought! Enjoy~

la confession de l'amour...

Remillia berjalan melewati gerombolan penggosip tadi. Tangannya kanannya menggenggam cutter yang disembunyikan dalam kantongnya.
"De Javu" bisiknya.

***

"ugh..." Remillia mati-matian berusaha meraih buku yang ada di bagian paling atas rak. Kemudian sebuah tangan muncul meraih buku itu.
Luke Sieghart.
"yang ini?" tanyanya.
Remillia menatap buku itu cukup lama, kemudian menerimanya dengan tangan kanan.
"sebenarnya bukan yang ini."
"Nah lho?! Salah tapi kok diterima? Hahaha. Berarti yang ini ya?" Luke meraih buku satunya yang cukup tebal.
"kamu tak perlu repot mengurusiku. Aku bisa sendiri." tutur Remillia yang mendekap buku tadi dengan tangan kanannya.
"kan kemarin aku sudah bilang kamu nggak perlu menanggung semuanya sendiri." Luke tersenyum.
Ah, lagi-lagi tatapan itu. Tatapan Remillia yang datar, namun sangat emosional. Lagi-lagi Luke terbawa ombak biru kehitaman itu.
"ehm. Pasti yang ini kan?" Luke akhirnya menyerahkan buku itu. Remillia mengangguk, kemudian mengulurkan tangan kirinya untuk menerima buku itu. Namun belum berapa detik ia menggenggam buku itu, ia menjatuhkan buku itu.
"Remillia!"
Gadis itu jatuh terduduk diatas lantai dengan tangan kanan memegangi lengan kiri bawahnya.
"kenapa? Ada yang luka?" Luke duduk menjongkok dan meraih tangan kiri gadis itu.
"lepas!!" Remillia tiba-tiba menjerit dan menarik tangannya.
"aku hanya berusaha membantu! Aku ini anak PMR, perlihatkan lukanya percaya saja padaku." ucap Luke.
"tidak!! Aku tidak butuh! Cepat pergi, atau aku akan..."
"Akan apa?! Membunuhku dengan cutter itu?!" Remillia tersentak mendengar ucapan Luke. Luke pun refleks menutup mulutnya.
"maaf... Aku kelepasan..."
"ukh... teganya kau... Aku tidak menggunakannya untuk hal seperti itu..." mata Remillia berkaca-kaca.
"maaf... Hanya saja, hampir semua orang membicarakannya. Aku hanya..."
"seharusnya... Aku sudah berhenti melakukannya. Seharusnya... Tapi, kemarin... Ukh... Ungg..." air mata gadis itu pun tumpah juga. Jantung Luke seperti tersayat melihatnya.
"Remillia..." desah Luke.
"uh... baiklah... Aku percaya padamu Luke..." Remillia perlahan menggulung lengan baju kirinya.
Mata Luke terbelalak melihatnya. Terlalu banyak... Luka bekas sayatan. Kemudian luke membuka perban yang sudah bebercak darah. Ia melihat beberapa sayatan kecil yang masih terbuka dan sebuah sayatan besar menganga.
"Remillia... Ini..."
"seharusnya aku sudah berhenti melakukan ini... Tapi air mata saja tak cukup untuk semua kekesalan ini. Terhadap dunia, terhadap diriku yang lemah ini. Aku selalu puas meliat cairan merah itu mengalir, seakan kebencianku merambat keluar dari diriku. Sakit, tapi menyenangkan." Remillia tersenyum. Senyum paling menyeramkan yang pernah Luke lihat.
"ahaha, tapi sepertinya semalam aku terlalu bersemangat. Hingga lukanya jadi sedalam ini, ugh... Mungkin, kalau sedikit dalam lagi, nadiku akan terpo-"
"jangan melakukan hal bodoh!!" Luke meraih tangan kiri Remillia. Pandangan mereka bertubrukan.
Sunyi. Bahkan air mata Remillia berhenti mengalir. Hanya waktu yang terus berlalu.
TING TONG!
"bel masuk... Ayo kita ke UKS dulu." Luke berdiri, masih menggenggam tangan Remillia. Gadis itu juga berdiri lalu menurunkan gulungan lengannya.
Sambil berjalan ke UKS, Luke teringat sebuah novel yang pernah ia baca.
Cutter... 'cutter'... Dua kata yang homograf dan homofon, beda arti namun saling berkaitan... 'cutter', orang yang senang menyayat dirinya sendiri. Masochist. Dan Remillia adalah 'cutter' yang menggunakan cutter sebagai alatnya...
Angin tak berhembus, namun Luke merasakan hembusan sendu yang menerbangkan jiwanya, jauh dari tubuhnya...
***
"Remillia membawa cutter untuk melukai dirinya sendiri?" Bu Anne memastikan apa yang barusan ia dengar. Luke mengangguk.
"sepertinya ibu memang harus menemui orangtuanya."
"tapi ibu tahu kan, Remillia-"
"ya, ibu tahu kalau ia tidak mau ibu pergi. Tapi kalau masalahnya sudah sampai ke tingkat ini, orangtuanya harus tahu." Ibu Anne memperkuat argumennya.
"ibu memang benar, hanya saja aku..."
"Luke, seberapa jauh kau mengenal Remillia?" tanya bu Anne.
"hah? Uuh... Cukup jauh... Karena dia memberitahukan tentang luka itu padaku."
"hmm... Apa kau diberitahu bahwa ibunya meninggal 2 bulan lalu?"
Luke tersentak.
"apa kau diberitahu kalau di sekolah sebelumnya ia di-bully?"
"eh..."
"teman-temannya melukainya jasmani dan rohani. Menusuk lengannya dengan pensil, memukulnya dengan papan hingga tulang rusuknya retak. Kau tahu?"
Luke terdiam.
"Remillia layaknya gunung api di tengah lautan. Yang terlihat hanya puncaknya, namun jika kita menyelam, barulah terlihat kalau gunung itu sangatlah besar. Bagaimana kalau gunung itu meledak? Remillia butuh perlakuan khusus, jiwanya terguncang. Terapi, konsultasi psikologi. Karena itu orangtuanya harus tahu."
***
Luke merasa seperti tersambar petir. Berjalan keluar ruangan Bu Anne dengan lemas. Pikirannya mengantarkan langkahnya menemui Remillia di gerbang sekolah.
"Luke..."
Luke menoleh, dan tersenyum ke arah gadis di hadapannya.
"Claire."
"namaku Clarissa... Luke, kau menunggui gadis itu?" Luke tidak menjawab, "sadarlah Luke, dia itu psycho!"
"ssst." Luke menempelkan jari telunjuknya pada bibirnya, kemudian menunjuk ke belakang Clarissa. Clarissa menoleh dan terkejut saat melihat sosok Remillia ada di hadapannya. Remillia hanya diam menatap Clarissa. Tatapan yang kosong, tanpa emosi, namun tersirat aura dendam di dalamnya. Bibir Clarissa bergetar dan keningnya berkerut.
"Remillia, kau mau pulang?" tanya Luke. Remillia tidak mengacuhkan dua orang itu dan tetap berjalan melewati mereka. Luke juga tanpa bicara membuntuti Remillia.Mereka berjalan cukup jauh tanpa kata-kata. Dan akhirnya Remillia berhenti lalu bertanya, "sampai kapan kau akan mengikutiku?"
"sampai kau mau mendengarkanku." jawab Luke tegas.
Remillia menghela napas dalam lalu berbalik ke arah Luke dan menunjukkan ekspresi yang seolah berkata, 'baiklah, aku mendengarkan.'
"kamu tahu? Aku masih menginginkannya. Kamu dan aku, rendezvous."
"kamu masih bersikeras? Padahal sudah kukatakan aku sibuk."
"ya. meskipun begitu, Nous allons à la bibliothèque." Luke tersenyum hangat saat mengatakannya. Remillia yang mendengarnya terdiam.
"bukankah kau bilang, kau hanya tahu kata 'rendezvous'?" Remillia terheran-heran.
"yah... Tapi aku berusaha belajar. Buat kamu." Luke menggaruk kepalanya.
"hah? Apa maksudnya untukku?" Remillia benar-benar kehilangan aura misteriusnya hari ini.
"supaya aku bisa bicara denganmu tanpa bingung." Luke berjalan mendekat kepada Remillia yang sedang terbengong-bengong. Semilir angin menjatuhkan dedaunan kering dari pepohonan di sekitar mereka. Kesunyian yang menyegarkan, menerbangkan perasaan Luke, jauh dari tubuhnya saat ini.
"kamu mau tahu kata lain yang sudah aku pelajari?" tanya Luke memecah kesunyian.
"... Je t'aime."
...
Terlantun dengan sangat jelas. Ungkapan cinta dalam bahasa Prancis itu bergema dalam gendang telinga mereka berdua. Diiringi dengan bisikan angin dan degupan jantung mereka, menciptakan melodi yang sulit dilupakan...
_bersambung-->ch.3_

Memoria ~ Melodi yang tak Terlupakan ~



Halooo~ Ini cerita yang (rencananya) mau kukirim buat lomba nulis cerpen! Enjoy~

“Memoria”
~ Melodi yang Tak Terlupakan ~

            “Rasanya seperti melangkah di atas pasir di pinggir pantai. Jejakmu akan terhapus begitu ombak datang menerjang…”
*  *  *
      “Selamat pagi”
      Bisikan lembut yang asing merambat di telinganya, seiring dengan semilir angin yang membelai pipinya. Wangi teh melati pun samar-samar tercium. Wanita itu membuka matanya, dan ia melihat jendela yang telah terbuka dengan korden putih berdansa bersama hembusan angin. Matanya menyapu seluruh ruangan. Dan yang ia lihat sebuah ruangan serba putih yang asing. Tidak begitu sempit dan tidak begitu luas, besarnya jendela membuat sinar mentari mampu menerangi seluruh ruangan. Yang ada di ruangan itu hanyalah sebuah ranjang yang sedang ia tiduri, sebuah meja dengan vas bunga dan teko teh di atasnya, dan sebuah sofa yang dihiasi bantal berwarna hijau, kontras dengan warna putih yang menyelimuti sekitar. Begitu ia beranjak dari tempat tidurnya, seorang gadis berseragam SMA berjalan masuk membawa nampan penuh makanan.
      “Ibu sudah bangun?”, Tanya gadis itu dengan seyuman lembut mengembang di bibirnya.
      Wanita tua itu hanya terdiam mendengar pertanyaan itu. Ia menatap gadis itu lekat-lekat dari ujung kepala hingga ujung kaki.
      ‘Siapa… Gadis itu?’ Batinnya.
      Gadis itu berjalan mendekati meja kecil di sisi tempat tidur dan meletakkan nampan yang tadi di atasnya. Wanita tua itu memperhatikan setiap gerak-geriknya dengan seksama. Begitu banyak tanya yang berkelebat dalam hatinya, namun entah kenapa bibirnya terkunci rapat, tak mengeluarkan sepatah kata pun.
      “Ini sarapan ibu. Ayo dimakan sekarang, nanti keburu dingin.” Tutur gadis itu lembut.
      Wanita tua tadi masih menatapnya dengan bingung. Meskipun begitu, sang gadis tetap tersenyum lembut seakan tak menyadari tatapan wanita itu. Gadis itu memberi isyarat pada wanita tua itu untuk duduk di tempat tidur, kemudian ia sendiri mengambil kursi tak jauh dari tempat itu lalu mendudukinya. Melihat si wanita tua tidak melakukan apa-apa, ia kembali bertanya,
      “Ibu ingin makan sendiri? Apa perlu saya suapi?” Tanya gadis itu disertai tawa lirih.
      Wanita itu masih tetap terdiam, namun akhirnya ia memutuskan untuk duduk dan meraih sendok di atas nampan tadi. Perlahan-lahan wanita itu mengunyah makanan yang ada di mulutnya. Sesekali ia melirik kearah gadis tadi, dan ia menyadari senyum lembutnya sudah tak lagi berkembang. Gadis itu menatap kosong kearah secangkir teh di sebelah nampan. Wanita tua itu pun ikut menatap cangkir teh itu. Wangi melatinya seakan mengingatkannya akan sesuatu, namun ia tidak tahu apa. Wanginya terasa begitu… ‘Dekat’
      “Oh, astaga! Maaf Bu, saya harus pergi!” Kata gadis itu sambil beranjak dari kursinya begitu melihat kearah jam. Gadis itu berlari ke pintu, namun ia berhenti sebentar lalu menengok kebelakang.
      “Assalamu’alaikum…” Ucapnya, kemudian melanjutkan larinya keluar.
      “… Waalaikum salam…” Jawab wanita tua itu akhirnya. Ia berhenti mengunyah makanannya, menatap ke arah pintu yang setengah tertutup.
      ‘Siapa gadis tadi? … Dan dimana ini?’ Tanyanya dalam hati.
      Ditaruhnya kembali sendok di tangannya ke atas nampan. Begitu banyak Tanya yang berkelebat menghancurkan nafsu makannya. Ia berdiri dan melihat ke luar jendela. Nampaknya ia berada di lantai 2 sebuah gedung. Di bawah sana ia melihat taman kecil dengan beberapa orang berpakaian seragam berjalan-jalan. Taman itu dikelilingi oleh kampu-lampu kecil dan diapit oleh koridor sempit. Ada satu jalan kecil di tengah taman itu, dan seorang gadis sedang berlari melewatinya. Gadis yang tadi membawakannya sarapan. Gadis itu berhenti berlari dan menengok ke atas, ke arah wanita itu. Gadis itu tersenyum lalu melambai-lambaikan tangannya, kemudian ia kembali berlari.
      Wanita tua itu hanya menatap punggung gadis itu yang semakin jauh dari penglihatannya. Wajah tersenyum gadis itu masih terbayang di pikirannya. Suaranya, caranya berbicara, posturnya yang tidak begitu tinggi dan tidak juga pendek, rambut panjangnya yang lurus dan jatuh sempurna di bahunya, juga tatapan kosongnya waktu itu. Semuanya terbayang. Semuanya sangat asing, namun entah kenapa… Terasa begitu ‘Dekat’.
      Ia sendiri tidak mengerti perasaannya. Kenapa gadis itu begitu mengganggu pikirannya? Ah, mungkin saja karena gadis yang tidak dikenalinya itu datang di pagi hari, membawakan sarapan dan memanggilnya… ‘Ibu’.
      “Ibu… ?”, Bisiknya.
      Kapan ia pernah mendengar panggilan itu?
      Perlahan ia hampiri meja kecil tadi. Ia tarik lacinya dan menemukan sebuah cermin kecil didalamnya. Ia ambil cermin itu, ia menatap bayangan yang terpantul disana. Wajahnya. Wajah bulat yang sudah mulai keriput, dihiasi rambut lurus sebahu. Wajah yang terlihat tua.
      ‘Sejak kapan aku menjadi terlihat tua? … Rasanya kemarin aku…’
     Pikirannya membeku seketika. ‘Kemarin’? Ia sama sekali tidak ingat apa yang terjadi ‘kemarin’. Kalau dipikir, ia pun tidak ingat kenapa ia bisa terbangun di tempat ini. Ia pun tidak ingat siapa gadis tadi.
      Sakit kepala yang tiba-tiba muncul memaksa tubuhnya untuk duduk. Ia merasa ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang ‘dekat’, tapi ia tidak tahu apa itu. Sebuah melodi terlantun dalam benaknya, suatu nyanyian yang sangat lembut. Ia lantunkan melodi itu. Setiap nada yang ia nyanyikan membuka sesuatu dalam dirinya, menampilkan gambar-gambar di dalam pikirannya…

      “Ibu!”
      “Dinda hari ini ceria sekali, ya?”
      “Hari ini hari yang baik untuk jalan-jalan, ya ‘kan?”

      Seakan tersambar petir, mata wanita tua itu terbelalak saat mendengar suara-suara dalam kepalanya.
      “Dinda…”, Bisiknya.
      Ia buka lagi laci meja kecil itu. Penuh dengan benda-benda kecil. Namun ada beberapa benda yang menarik perhatiannya. Sebuah album foto dan sebuah catatan kecil yang manis. Ia buka album itu. Ada wajahnya disana, bersama wajah-wajah lain yang asing. Halaman demi halaman ia buka, hampir selalu ada dirinya, wajahnya yang masih bersih dari kerutan. Dan di halaman terakhir, ada potret dirinya, bersama seorang gadis berumur belasan tahun yang tersenyum bahagia. Di atas  foto itu tertulis, “Dinda sayang ibu”.
      “Dinda…”
      Lagi-lagi nama itu muncul di benaknya. Mungkinkah…
      Dibukanya catatan kecil yang ia temukan. Catatan itu cukup lusuh, mungkin sudah berapa lama tidak dibuka. Catatan itu berisi tulisan tangan yang rapi, tentang keseharian seseorang. Catatan itu adalah diary milik Dinda.
      Banyak hal yang tertulis disana. Mulai dari Dinda yang baru akan masuk SMP, bertemu teman-teman baru, jalan-jalan bersama keluarga, saat ia sedih… Saat ia sedih, ia bercerita pada ibunya. Ibunya pasti akan mendekapnya erat sambil membelai lembut rambutnya dan memberikan nasihat-nasihat padanya. Kemudian yang paling ia sukai adalah saat ibunya menyanyikan sebuah lagu berjudul…
      Memoria…
      Tubuhnya bergetar. Ia mengingatnya, Ia mengingat lagu itu. Ia nyanyikan lagu itu lagi. Ia nyanyikan lagu itu berulang-ulang.
      “Dinda… Dinda…”
      Ia masih menyanyikannya. Ia terus menyanyikannya sampai ia merasa kesal. Kenapa ia dapat mengingat lagu itu? Tapi kenapa ia tidak bisa mengingat yang lainnya? Kenapa ia tak tahu apa yang terjadi ‘kemarin’? Kenapa ia tak ingat alas an ia terbangun di tempat ini? Tempat yang sepi, yang tak ia kenali? Kenapa… Kenapa ia tak ingat siapa itu ‘Dinda’?
      “Dinda sayang ibu!”
      Suara itu kembali terngiang di telinganya. Sebuah wajah polos dengan senyum bahagia terlukis dalam pikirannya. Senyuman seorang gadis yang sangat ia sayangi…
      “Dinda… Dinda putriku…”
      Tetes air mata membasahi pipinya. Rasa rindu yang tak tertahankan menusuk-nusuk dadanya. Kembali ia buka halaman-halaman diary itu.

      Ibu bilang hari ini kita akan berkunjung ke rumah tante Nisa. Sebenarnya aku agak malas karena di tempat tante ngebosenin. Yang ada Cuma anak kecil dan TV-nya pasti dinyalain untuk nonton kartun doang! Tapi aku harus ikut, soalnnya Ayah dan Kakak juga mau ikut. Ya udah deh!
12 Juni 2008
      Ah, sudah hampir sebulan aku tidak menulis disini lagi. Itu artinya sudah hamper sebulan sejak kecelakaan itu ya? Waktu sangat cepat berlalu ya. Tapi ibu sampai sekarang belum sadarkan diri. Aku harap ibu segera bangun, aku nggak ingin ditinggal ibu. Ayah sudah tiada. Apa yang akan terjadi padaku dan kakak?
9 Juli 2008
      Akhirnya ibu siuman. Tapi ada sesuatu yang aneh dengannya. Ibu tidak mengatakan apa-apa saat melihat aku dan kakak. Matanya kosong, seakan tidak mengenal kami. Dokter bilang ibu amnesia. Oh, tuhan, aku bersyukur ibu sudah siuman, namun jika keadaan ibu seperti ini, aku nggak tahu harus apa lagi…
 11 Juli 2008

      Lagi-lagi aku absen menulis diary. Aku dan kakakku cukup shock. Amnesia yang dialami ibuku bukan amnesia biasa, tapi ‘anterograde amnesia’. Dokter bilang ibuku akan melupakan kejadian hari ini pada keesokan hari, dan begitu seterusnya. Aku benar-benar sedih. Setiap harinya aku berkata, “Ibu, ini Dinda”, “Ibu, ini anakmu, Dinda!”. Namun ternyata itu percuma. Besok, besok lusa dan seterusnya, ibu akan terus melupakan aku. Kakak pun sudah lelah mengingatkan. Ia bilang, “biarkan saja, kasihan Ibu.”. Tapi aku nggak ingin Ibu melupakan aku…
21 Juli 2008
      Itulah halaman terakhir diary ini. Sepertinya ia tidak lagi melanjutkan tulisannya.
      Wanita tua itu terisak. Ia terus membuka-buka catatan kecil itu, berharap ada tulisan lain dari putrinya. Lalu ia menemukan satu kalimat di halaman terakhir.
      “Ibu maafkan Dinda. Dinda juga lelah, sama seperti kakak. Tapi Dinda akan selalu sayang Ibu, karena Dinda tahu meskipun keadaan Ibu seperti ini, Ibu selalu menyayangi kami.”
      Tetes air mata itu seakan tidak mau berhenti. Ia kembali menyanyikan lagu yang ia ingat itu, namun ia justru semakin kesal…
      “Dinda… Dinda… Dinda!!” Jeritnya.
      Seorang suster datang menghampirinya.
      “Bu, ada apa bu?”
      “Dinda… Di mana Dinda? Di mana putriku? Aku ingin bertemu sekarang!”
      “Ibu, tenangkan diri anda dulu…” Suster itu berusaha menenangkan wanita tua itu.
      “Menjauh dariku! Aku ingin bertemu putriku sekarang!!” Jerit wanita tua itu.
      Tak lama suster-suster lain datang dan berusaha menenangkannya, namun wanita itu tetap menjerit dan berontak. Ia meloncat dari tempat tidurnya dan berlari keluar dari kamar.
      Ia berlari sekencang yang ia bisa, sambil mendekap diary kecil milik putrinya. Ia berlari menyusuri koridor-koridor sempit yang penuh orang-orang, tak peduli banyak orang yang mengejarnya di belakang. Ia tak peduli kalau ia tersesat, Ia tak peduli apa-apa lagi, yang ia pedulikan hanyalah keinginannya untuk bertemu sang putri tercinta.
      Lalu tanpa ia sadari, Angin segar berhembus melewati tubuhnya. Ia sudah sampai di luar gedung, dan ia tengah berdiri di tengah jalan. Lalu ia terbangun dari lamunannya saat suara klakson yang keras merambat masuk ke telinganya.
 *  *  *
      Dingin.
      Udara dingin menggelitik hidungnya, menusuk tulangnya. Ia membuka matanya. Ternyata jendelanya belum ditutup, padahal langit sudah gelap… Sudah malam?
      Ia melihat di sampingnya, seorang gadis tertidur di sisi ranjang yang sedang ia tiduri. Rambut panjangnya yang lurus jatuh menutupi wajahnya.
      “Dinda…” Bisiknya sambil membelai lembut kepala gadis itu. Ia sisihkan rambut dari wajah gadis itu agar ia dapat melihat wajah yang sangat ia rindukan.
      “Dinda… Kamu pasti lelah ya nak? Setiap hari mengurusi Ibu yang… Kondisinya seperti ini?” Tuturnya lirih.
      Mata gadis itu perlahan terbuka, menatap lembut ke arah sang Ibunda.
      “Ibu…?”
      Wanita tua itu tersenyum lembut dengan mata berkaca-kaca, masih membelai kepala gadis itu.
      “Ibu selalu sayang Dinda…” Tutur wanita itu lembut, diringi tetesan jernih dari matanya.
      Kemudian ia menyenandungkan melodi itu. Selagi ia masih ingat, selagi hari esok belum datang, ia ingin memberikan banyak kasih saying yang tak sempat ia beri selama ini. Sudah berapa lama rasa sayangnya ini terkubur? Sudah berapa tahun? Dan selama itu, putrinya terus berada di sisinya. Setiap hari ia dihadapkan oleh kenyataan bahwa ia telah dilupakan oleh ibunya sendiri. Itu pasti membuatnya sakit. Sangat, sangat sakit.
      Kemudian gadis itu ikut menyanyikannya, menyanyikan melodi indah yang menjadi satu-satunya jembatan penghubung mereka dengan masa lalu yang indah, yang tak akan kembali lagi. Diiringi dengan tetesan air dari dua pasang bola mata, menjadikan lagu itu lebih istimewa dibanding lagu-lagu lainnya…
      Memoria, melodi yang tak terlupakan…
~ F i n ~