Jumat, 09 November 2012

Memoria ~ Melodi yang tak Terlupakan ~



Halooo~ Ini cerita yang (rencananya) mau kukirim buat lomba nulis cerpen! Enjoy~

“Memoria”
~ Melodi yang Tak Terlupakan ~

            “Rasanya seperti melangkah di atas pasir di pinggir pantai. Jejakmu akan terhapus begitu ombak datang menerjang…”
*  *  *
      “Selamat pagi”
      Bisikan lembut yang asing merambat di telinganya, seiring dengan semilir angin yang membelai pipinya. Wangi teh melati pun samar-samar tercium. Wanita itu membuka matanya, dan ia melihat jendela yang telah terbuka dengan korden putih berdansa bersama hembusan angin. Matanya menyapu seluruh ruangan. Dan yang ia lihat sebuah ruangan serba putih yang asing. Tidak begitu sempit dan tidak begitu luas, besarnya jendela membuat sinar mentari mampu menerangi seluruh ruangan. Yang ada di ruangan itu hanyalah sebuah ranjang yang sedang ia tiduri, sebuah meja dengan vas bunga dan teko teh di atasnya, dan sebuah sofa yang dihiasi bantal berwarna hijau, kontras dengan warna putih yang menyelimuti sekitar. Begitu ia beranjak dari tempat tidurnya, seorang gadis berseragam SMA berjalan masuk membawa nampan penuh makanan.
      “Ibu sudah bangun?”, Tanya gadis itu dengan seyuman lembut mengembang di bibirnya.
      Wanita tua itu hanya terdiam mendengar pertanyaan itu. Ia menatap gadis itu lekat-lekat dari ujung kepala hingga ujung kaki.
      ‘Siapa… Gadis itu?’ Batinnya.
      Gadis itu berjalan mendekati meja kecil di sisi tempat tidur dan meletakkan nampan yang tadi di atasnya. Wanita tua itu memperhatikan setiap gerak-geriknya dengan seksama. Begitu banyak tanya yang berkelebat dalam hatinya, namun entah kenapa bibirnya terkunci rapat, tak mengeluarkan sepatah kata pun.
      “Ini sarapan ibu. Ayo dimakan sekarang, nanti keburu dingin.” Tutur gadis itu lembut.
      Wanita tua tadi masih menatapnya dengan bingung. Meskipun begitu, sang gadis tetap tersenyum lembut seakan tak menyadari tatapan wanita itu. Gadis itu memberi isyarat pada wanita tua itu untuk duduk di tempat tidur, kemudian ia sendiri mengambil kursi tak jauh dari tempat itu lalu mendudukinya. Melihat si wanita tua tidak melakukan apa-apa, ia kembali bertanya,
      “Ibu ingin makan sendiri? Apa perlu saya suapi?” Tanya gadis itu disertai tawa lirih.
      Wanita itu masih tetap terdiam, namun akhirnya ia memutuskan untuk duduk dan meraih sendok di atas nampan tadi. Perlahan-lahan wanita itu mengunyah makanan yang ada di mulutnya. Sesekali ia melirik kearah gadis tadi, dan ia menyadari senyum lembutnya sudah tak lagi berkembang. Gadis itu menatap kosong kearah secangkir teh di sebelah nampan. Wanita tua itu pun ikut menatap cangkir teh itu. Wangi melatinya seakan mengingatkannya akan sesuatu, namun ia tidak tahu apa. Wanginya terasa begitu… ‘Dekat’
      “Oh, astaga! Maaf Bu, saya harus pergi!” Kata gadis itu sambil beranjak dari kursinya begitu melihat kearah jam. Gadis itu berlari ke pintu, namun ia berhenti sebentar lalu menengok kebelakang.
      “Assalamu’alaikum…” Ucapnya, kemudian melanjutkan larinya keluar.
      “… Waalaikum salam…” Jawab wanita tua itu akhirnya. Ia berhenti mengunyah makanannya, menatap ke arah pintu yang setengah tertutup.
      ‘Siapa gadis tadi? … Dan dimana ini?’ Tanyanya dalam hati.
      Ditaruhnya kembali sendok di tangannya ke atas nampan. Begitu banyak Tanya yang berkelebat menghancurkan nafsu makannya. Ia berdiri dan melihat ke luar jendela. Nampaknya ia berada di lantai 2 sebuah gedung. Di bawah sana ia melihat taman kecil dengan beberapa orang berpakaian seragam berjalan-jalan. Taman itu dikelilingi oleh kampu-lampu kecil dan diapit oleh koridor sempit. Ada satu jalan kecil di tengah taman itu, dan seorang gadis sedang berlari melewatinya. Gadis yang tadi membawakannya sarapan. Gadis itu berhenti berlari dan menengok ke atas, ke arah wanita itu. Gadis itu tersenyum lalu melambai-lambaikan tangannya, kemudian ia kembali berlari.
      Wanita tua itu hanya menatap punggung gadis itu yang semakin jauh dari penglihatannya. Wajah tersenyum gadis itu masih terbayang di pikirannya. Suaranya, caranya berbicara, posturnya yang tidak begitu tinggi dan tidak juga pendek, rambut panjangnya yang lurus dan jatuh sempurna di bahunya, juga tatapan kosongnya waktu itu. Semuanya terbayang. Semuanya sangat asing, namun entah kenapa… Terasa begitu ‘Dekat’.
      Ia sendiri tidak mengerti perasaannya. Kenapa gadis itu begitu mengganggu pikirannya? Ah, mungkin saja karena gadis yang tidak dikenalinya itu datang di pagi hari, membawakan sarapan dan memanggilnya… ‘Ibu’.
      “Ibu… ?”, Bisiknya.
      Kapan ia pernah mendengar panggilan itu?
      Perlahan ia hampiri meja kecil tadi. Ia tarik lacinya dan menemukan sebuah cermin kecil didalamnya. Ia ambil cermin itu, ia menatap bayangan yang terpantul disana. Wajahnya. Wajah bulat yang sudah mulai keriput, dihiasi rambut lurus sebahu. Wajah yang terlihat tua.
      ‘Sejak kapan aku menjadi terlihat tua? … Rasanya kemarin aku…’
     Pikirannya membeku seketika. ‘Kemarin’? Ia sama sekali tidak ingat apa yang terjadi ‘kemarin’. Kalau dipikir, ia pun tidak ingat kenapa ia bisa terbangun di tempat ini. Ia pun tidak ingat siapa gadis tadi.
      Sakit kepala yang tiba-tiba muncul memaksa tubuhnya untuk duduk. Ia merasa ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang ‘dekat’, tapi ia tidak tahu apa itu. Sebuah melodi terlantun dalam benaknya, suatu nyanyian yang sangat lembut. Ia lantunkan melodi itu. Setiap nada yang ia nyanyikan membuka sesuatu dalam dirinya, menampilkan gambar-gambar di dalam pikirannya…

      “Ibu!”
      “Dinda hari ini ceria sekali, ya?”
      “Hari ini hari yang baik untuk jalan-jalan, ya ‘kan?”

      Seakan tersambar petir, mata wanita tua itu terbelalak saat mendengar suara-suara dalam kepalanya.
      “Dinda…”, Bisiknya.
      Ia buka lagi laci meja kecil itu. Penuh dengan benda-benda kecil. Namun ada beberapa benda yang menarik perhatiannya. Sebuah album foto dan sebuah catatan kecil yang manis. Ia buka album itu. Ada wajahnya disana, bersama wajah-wajah lain yang asing. Halaman demi halaman ia buka, hampir selalu ada dirinya, wajahnya yang masih bersih dari kerutan. Dan di halaman terakhir, ada potret dirinya, bersama seorang gadis berumur belasan tahun yang tersenyum bahagia. Di atas  foto itu tertulis, “Dinda sayang ibu”.
      “Dinda…”
      Lagi-lagi nama itu muncul di benaknya. Mungkinkah…
      Dibukanya catatan kecil yang ia temukan. Catatan itu cukup lusuh, mungkin sudah berapa lama tidak dibuka. Catatan itu berisi tulisan tangan yang rapi, tentang keseharian seseorang. Catatan itu adalah diary milik Dinda.
      Banyak hal yang tertulis disana. Mulai dari Dinda yang baru akan masuk SMP, bertemu teman-teman baru, jalan-jalan bersama keluarga, saat ia sedih… Saat ia sedih, ia bercerita pada ibunya. Ibunya pasti akan mendekapnya erat sambil membelai lembut rambutnya dan memberikan nasihat-nasihat padanya. Kemudian yang paling ia sukai adalah saat ibunya menyanyikan sebuah lagu berjudul…
      Memoria…
      Tubuhnya bergetar. Ia mengingatnya, Ia mengingat lagu itu. Ia nyanyikan lagu itu lagi. Ia nyanyikan lagu itu berulang-ulang.
      “Dinda… Dinda…”
      Ia masih menyanyikannya. Ia terus menyanyikannya sampai ia merasa kesal. Kenapa ia dapat mengingat lagu itu? Tapi kenapa ia tidak bisa mengingat yang lainnya? Kenapa ia tak tahu apa yang terjadi ‘kemarin’? Kenapa ia tak ingat alas an ia terbangun di tempat ini? Tempat yang sepi, yang tak ia kenali? Kenapa… Kenapa ia tak ingat siapa itu ‘Dinda’?
      “Dinda sayang ibu!”
      Suara itu kembali terngiang di telinganya. Sebuah wajah polos dengan senyum bahagia terlukis dalam pikirannya. Senyuman seorang gadis yang sangat ia sayangi…
      “Dinda… Dinda putriku…”
      Tetes air mata membasahi pipinya. Rasa rindu yang tak tertahankan menusuk-nusuk dadanya. Kembali ia buka halaman-halaman diary itu.

      Ibu bilang hari ini kita akan berkunjung ke rumah tante Nisa. Sebenarnya aku agak malas karena di tempat tante ngebosenin. Yang ada Cuma anak kecil dan TV-nya pasti dinyalain untuk nonton kartun doang! Tapi aku harus ikut, soalnnya Ayah dan Kakak juga mau ikut. Ya udah deh!
12 Juni 2008
      Ah, sudah hampir sebulan aku tidak menulis disini lagi. Itu artinya sudah hamper sebulan sejak kecelakaan itu ya? Waktu sangat cepat berlalu ya. Tapi ibu sampai sekarang belum sadarkan diri. Aku harap ibu segera bangun, aku nggak ingin ditinggal ibu. Ayah sudah tiada. Apa yang akan terjadi padaku dan kakak?
9 Juli 2008
      Akhirnya ibu siuman. Tapi ada sesuatu yang aneh dengannya. Ibu tidak mengatakan apa-apa saat melihat aku dan kakak. Matanya kosong, seakan tidak mengenal kami. Dokter bilang ibu amnesia. Oh, tuhan, aku bersyukur ibu sudah siuman, namun jika keadaan ibu seperti ini, aku nggak tahu harus apa lagi…
 11 Juli 2008

      Lagi-lagi aku absen menulis diary. Aku dan kakakku cukup shock. Amnesia yang dialami ibuku bukan amnesia biasa, tapi ‘anterograde amnesia’. Dokter bilang ibuku akan melupakan kejadian hari ini pada keesokan hari, dan begitu seterusnya. Aku benar-benar sedih. Setiap harinya aku berkata, “Ibu, ini Dinda”, “Ibu, ini anakmu, Dinda!”. Namun ternyata itu percuma. Besok, besok lusa dan seterusnya, ibu akan terus melupakan aku. Kakak pun sudah lelah mengingatkan. Ia bilang, “biarkan saja, kasihan Ibu.”. Tapi aku nggak ingin Ibu melupakan aku…
21 Juli 2008
      Itulah halaman terakhir diary ini. Sepertinya ia tidak lagi melanjutkan tulisannya.
      Wanita tua itu terisak. Ia terus membuka-buka catatan kecil itu, berharap ada tulisan lain dari putrinya. Lalu ia menemukan satu kalimat di halaman terakhir.
      “Ibu maafkan Dinda. Dinda juga lelah, sama seperti kakak. Tapi Dinda akan selalu sayang Ibu, karena Dinda tahu meskipun keadaan Ibu seperti ini, Ibu selalu menyayangi kami.”
      Tetes air mata itu seakan tidak mau berhenti. Ia kembali menyanyikan lagu yang ia ingat itu, namun ia justru semakin kesal…
      “Dinda… Dinda… Dinda!!” Jeritnya.
      Seorang suster datang menghampirinya.
      “Bu, ada apa bu?”
      “Dinda… Di mana Dinda? Di mana putriku? Aku ingin bertemu sekarang!”
      “Ibu, tenangkan diri anda dulu…” Suster itu berusaha menenangkan wanita tua itu.
      “Menjauh dariku! Aku ingin bertemu putriku sekarang!!” Jerit wanita tua itu.
      Tak lama suster-suster lain datang dan berusaha menenangkannya, namun wanita itu tetap menjerit dan berontak. Ia meloncat dari tempat tidurnya dan berlari keluar dari kamar.
      Ia berlari sekencang yang ia bisa, sambil mendekap diary kecil milik putrinya. Ia berlari menyusuri koridor-koridor sempit yang penuh orang-orang, tak peduli banyak orang yang mengejarnya di belakang. Ia tak peduli kalau ia tersesat, Ia tak peduli apa-apa lagi, yang ia pedulikan hanyalah keinginannya untuk bertemu sang putri tercinta.
      Lalu tanpa ia sadari, Angin segar berhembus melewati tubuhnya. Ia sudah sampai di luar gedung, dan ia tengah berdiri di tengah jalan. Lalu ia terbangun dari lamunannya saat suara klakson yang keras merambat masuk ke telinganya.
 *  *  *
      Dingin.
      Udara dingin menggelitik hidungnya, menusuk tulangnya. Ia membuka matanya. Ternyata jendelanya belum ditutup, padahal langit sudah gelap… Sudah malam?
      Ia melihat di sampingnya, seorang gadis tertidur di sisi ranjang yang sedang ia tiduri. Rambut panjangnya yang lurus jatuh menutupi wajahnya.
      “Dinda…” Bisiknya sambil membelai lembut kepala gadis itu. Ia sisihkan rambut dari wajah gadis itu agar ia dapat melihat wajah yang sangat ia rindukan.
      “Dinda… Kamu pasti lelah ya nak? Setiap hari mengurusi Ibu yang… Kondisinya seperti ini?” Tuturnya lirih.
      Mata gadis itu perlahan terbuka, menatap lembut ke arah sang Ibunda.
      “Ibu…?”
      Wanita tua itu tersenyum lembut dengan mata berkaca-kaca, masih membelai kepala gadis itu.
      “Ibu selalu sayang Dinda…” Tutur wanita itu lembut, diringi tetesan jernih dari matanya.
      Kemudian ia menyenandungkan melodi itu. Selagi ia masih ingat, selagi hari esok belum datang, ia ingin memberikan banyak kasih saying yang tak sempat ia beri selama ini. Sudah berapa lama rasa sayangnya ini terkubur? Sudah berapa tahun? Dan selama itu, putrinya terus berada di sisinya. Setiap hari ia dihadapkan oleh kenyataan bahwa ia telah dilupakan oleh ibunya sendiri. Itu pasti membuatnya sakit. Sangat, sangat sakit.
      Kemudian gadis itu ikut menyanyikannya, menyanyikan melodi indah yang menjadi satu-satunya jembatan penghubung mereka dengan masa lalu yang indah, yang tak akan kembali lagi. Diiringi dengan tetesan air dari dua pasang bola mata, menjadikan lagu itu lebih istimewa dibanding lagu-lagu lainnya…
      Memoria, melodi yang tak terlupakan…
~ F i n ~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar