Jumat, 09 November 2012

~ Secret Thought ~ _chapitre 2, la confession_

Chapter 2 of Secret Thought! Enjoy~

la confession de l'amour...

Remillia berjalan melewati gerombolan penggosip tadi. Tangannya kanannya menggenggam cutter yang disembunyikan dalam kantongnya.
"De Javu" bisiknya.

***

"ugh..." Remillia mati-matian berusaha meraih buku yang ada di bagian paling atas rak. Kemudian sebuah tangan muncul meraih buku itu.
Luke Sieghart.
"yang ini?" tanyanya.
Remillia menatap buku itu cukup lama, kemudian menerimanya dengan tangan kanan.
"sebenarnya bukan yang ini."
"Nah lho?! Salah tapi kok diterima? Hahaha. Berarti yang ini ya?" Luke meraih buku satunya yang cukup tebal.
"kamu tak perlu repot mengurusiku. Aku bisa sendiri." tutur Remillia yang mendekap buku tadi dengan tangan kanannya.
"kan kemarin aku sudah bilang kamu nggak perlu menanggung semuanya sendiri." Luke tersenyum.
Ah, lagi-lagi tatapan itu. Tatapan Remillia yang datar, namun sangat emosional. Lagi-lagi Luke terbawa ombak biru kehitaman itu.
"ehm. Pasti yang ini kan?" Luke akhirnya menyerahkan buku itu. Remillia mengangguk, kemudian mengulurkan tangan kirinya untuk menerima buku itu. Namun belum berapa detik ia menggenggam buku itu, ia menjatuhkan buku itu.
"Remillia!"
Gadis itu jatuh terduduk diatas lantai dengan tangan kanan memegangi lengan kiri bawahnya.
"kenapa? Ada yang luka?" Luke duduk menjongkok dan meraih tangan kiri gadis itu.
"lepas!!" Remillia tiba-tiba menjerit dan menarik tangannya.
"aku hanya berusaha membantu! Aku ini anak PMR, perlihatkan lukanya percaya saja padaku." ucap Luke.
"tidak!! Aku tidak butuh! Cepat pergi, atau aku akan..."
"Akan apa?! Membunuhku dengan cutter itu?!" Remillia tersentak mendengar ucapan Luke. Luke pun refleks menutup mulutnya.
"maaf... Aku kelepasan..."
"ukh... teganya kau... Aku tidak menggunakannya untuk hal seperti itu..." mata Remillia berkaca-kaca.
"maaf... Hanya saja, hampir semua orang membicarakannya. Aku hanya..."
"seharusnya... Aku sudah berhenti melakukannya. Seharusnya... Tapi, kemarin... Ukh... Ungg..." air mata gadis itu pun tumpah juga. Jantung Luke seperti tersayat melihatnya.
"Remillia..." desah Luke.
"uh... baiklah... Aku percaya padamu Luke..." Remillia perlahan menggulung lengan baju kirinya.
Mata Luke terbelalak melihatnya. Terlalu banyak... Luka bekas sayatan. Kemudian luke membuka perban yang sudah bebercak darah. Ia melihat beberapa sayatan kecil yang masih terbuka dan sebuah sayatan besar menganga.
"Remillia... Ini..."
"seharusnya aku sudah berhenti melakukan ini... Tapi air mata saja tak cukup untuk semua kekesalan ini. Terhadap dunia, terhadap diriku yang lemah ini. Aku selalu puas meliat cairan merah itu mengalir, seakan kebencianku merambat keluar dari diriku. Sakit, tapi menyenangkan." Remillia tersenyum. Senyum paling menyeramkan yang pernah Luke lihat.
"ahaha, tapi sepertinya semalam aku terlalu bersemangat. Hingga lukanya jadi sedalam ini, ugh... Mungkin, kalau sedikit dalam lagi, nadiku akan terpo-"
"jangan melakukan hal bodoh!!" Luke meraih tangan kiri Remillia. Pandangan mereka bertubrukan.
Sunyi. Bahkan air mata Remillia berhenti mengalir. Hanya waktu yang terus berlalu.
TING TONG!
"bel masuk... Ayo kita ke UKS dulu." Luke berdiri, masih menggenggam tangan Remillia. Gadis itu juga berdiri lalu menurunkan gulungan lengannya.
Sambil berjalan ke UKS, Luke teringat sebuah novel yang pernah ia baca.
Cutter... 'cutter'... Dua kata yang homograf dan homofon, beda arti namun saling berkaitan... 'cutter', orang yang senang menyayat dirinya sendiri. Masochist. Dan Remillia adalah 'cutter' yang menggunakan cutter sebagai alatnya...
Angin tak berhembus, namun Luke merasakan hembusan sendu yang menerbangkan jiwanya, jauh dari tubuhnya...
***
"Remillia membawa cutter untuk melukai dirinya sendiri?" Bu Anne memastikan apa yang barusan ia dengar. Luke mengangguk.
"sepertinya ibu memang harus menemui orangtuanya."
"tapi ibu tahu kan, Remillia-"
"ya, ibu tahu kalau ia tidak mau ibu pergi. Tapi kalau masalahnya sudah sampai ke tingkat ini, orangtuanya harus tahu." Ibu Anne memperkuat argumennya.
"ibu memang benar, hanya saja aku..."
"Luke, seberapa jauh kau mengenal Remillia?" tanya bu Anne.
"hah? Uuh... Cukup jauh... Karena dia memberitahukan tentang luka itu padaku."
"hmm... Apa kau diberitahu bahwa ibunya meninggal 2 bulan lalu?"
Luke tersentak.
"apa kau diberitahu kalau di sekolah sebelumnya ia di-bully?"
"eh..."
"teman-temannya melukainya jasmani dan rohani. Menusuk lengannya dengan pensil, memukulnya dengan papan hingga tulang rusuknya retak. Kau tahu?"
Luke terdiam.
"Remillia layaknya gunung api di tengah lautan. Yang terlihat hanya puncaknya, namun jika kita menyelam, barulah terlihat kalau gunung itu sangatlah besar. Bagaimana kalau gunung itu meledak? Remillia butuh perlakuan khusus, jiwanya terguncang. Terapi, konsultasi psikologi. Karena itu orangtuanya harus tahu."
***
Luke merasa seperti tersambar petir. Berjalan keluar ruangan Bu Anne dengan lemas. Pikirannya mengantarkan langkahnya menemui Remillia di gerbang sekolah.
"Luke..."
Luke menoleh, dan tersenyum ke arah gadis di hadapannya.
"Claire."
"namaku Clarissa... Luke, kau menunggui gadis itu?" Luke tidak menjawab, "sadarlah Luke, dia itu psycho!"
"ssst." Luke menempelkan jari telunjuknya pada bibirnya, kemudian menunjuk ke belakang Clarissa. Clarissa menoleh dan terkejut saat melihat sosok Remillia ada di hadapannya. Remillia hanya diam menatap Clarissa. Tatapan yang kosong, tanpa emosi, namun tersirat aura dendam di dalamnya. Bibir Clarissa bergetar dan keningnya berkerut.
"Remillia, kau mau pulang?" tanya Luke. Remillia tidak mengacuhkan dua orang itu dan tetap berjalan melewati mereka. Luke juga tanpa bicara membuntuti Remillia.Mereka berjalan cukup jauh tanpa kata-kata. Dan akhirnya Remillia berhenti lalu bertanya, "sampai kapan kau akan mengikutiku?"
"sampai kau mau mendengarkanku." jawab Luke tegas.
Remillia menghela napas dalam lalu berbalik ke arah Luke dan menunjukkan ekspresi yang seolah berkata, 'baiklah, aku mendengarkan.'
"kamu tahu? Aku masih menginginkannya. Kamu dan aku, rendezvous."
"kamu masih bersikeras? Padahal sudah kukatakan aku sibuk."
"ya. meskipun begitu, Nous allons à la bibliothèque." Luke tersenyum hangat saat mengatakannya. Remillia yang mendengarnya terdiam.
"bukankah kau bilang, kau hanya tahu kata 'rendezvous'?" Remillia terheran-heran.
"yah... Tapi aku berusaha belajar. Buat kamu." Luke menggaruk kepalanya.
"hah? Apa maksudnya untukku?" Remillia benar-benar kehilangan aura misteriusnya hari ini.
"supaya aku bisa bicara denganmu tanpa bingung." Luke berjalan mendekat kepada Remillia yang sedang terbengong-bengong. Semilir angin menjatuhkan dedaunan kering dari pepohonan di sekitar mereka. Kesunyian yang menyegarkan, menerbangkan perasaan Luke, jauh dari tubuhnya saat ini.
"kamu mau tahu kata lain yang sudah aku pelajari?" tanya Luke memecah kesunyian.
"... Je t'aime."
...
Terlantun dengan sangat jelas. Ungkapan cinta dalam bahasa Prancis itu bergema dalam gendang telinga mereka berdua. Diiringi dengan bisikan angin dan degupan jantung mereka, menciptakan melodi yang sulit dilupakan...
_bersambung-->ch.3_

Tidak ada komentar:

Posting Komentar